Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Fanshurullah Asa menyatakan akan mengkaji biaya transmisi gas bumi melalui pipa atau toll fee. "Kami akan kaji toll fee beberapa ruas transmisi yang tarifnya masih agak tinggi," kata dia, kemarin. Tingginya biaya toll fee tersebut, antara lain, disebabkan komitmen yang rendah dari pengguna jasa pengangkutan gas, ketidakpatuhan terhadap perjanjian pengangkutan gas, hingga penurunan volume pasokan gas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian tentang biaya transmisi gas domestik dilakukan sebagai respons atas permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan harga gas industri di bawah US$ 6 per MMBTU. Presiden memberi tenggat kepada jajaran pemerintah untuk mencari solusi hingga April mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPH Migas saat ini telah menetapkan tarif pengangkutan di 61 ruas pipa transmisi dengan rata-rata tarif tertimbang sebesar US$ 0,353 per MSCF. Angka ini dihitung berdasarkan nilai belanja modal dan operasional perusahaan pengangkut gas, volume gas yang diangkut, serta porsi ekuitas dan utang untuk pendanaan pipa penyalur.
Anggota Komite BPH Migas, Jugi Prajogio, menyatakan evaluasi terhadap toll fee sebenarnya dilakukan secara rutin, terutama pada ruas yang mengalami penurunan penyaluran gas. Pasalnya, saat volume gas yang diangkut lebih rendah dari perjanjian, toll fee akan meningkat. "Tapi sering kali BPH tidak menyesuaikan toll fee yang seharusnya naik agar harga gas di hilir tetap rasional," ujar dia.
Porsi toll fee pipa transmisi ini terhadap total komponen biaya harga gas, menurut BPH Migas, hanya 10 persen. Sedangkan sisanya didominasi harga hulu serta biaya distribusi melalui pipa untuk sektor hilir.
Adapun Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyatakan sedang mengkaji beberapa opsi untuk menurunkan harga gas industri. Salah satunya dengan mengurangi penerimaan negara bukan pajak atas penjualan gas milik negara kepada industri pengguna sebesar US$ 2,2 per MMBTU. "Harus ada kompensasinya dari mana. Kalau ada penurunan pajak tertentu, harus ada kenaikan pajak di sektor lain," katanya.
SKK Migas juga mempelajari opsi lain, seperti kewajiban memasok gas dalam negeri (domestic market obligation) hingga mengimpor gas. Untuk pilihan terakhir, dia menghitung masalah defisit neraca migas sebagai bahan pertimbangan.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas, Djoko Siswanto, menyatakan telah melakukan sejumlah upaya untuk menurunkan harga gas industri. Namun jauhnya sumber gas dengan konsumen menjadi salah satu penyebab upaya tersebut belum maksimal.
Djoko mengklaim telah mengatur harga jual gas bumi melalui pipa sektor hilir sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Migas. "Kami menghilangkan trader bertingkat, membatasi harga gas di mulut sumur gas," kata dia. Margin usaha badan usaha pun dibatasi, misalnya untuk investment return rate dipatok maksimal hanya 11 persen.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia optimistis segala upaya dari hulu ke hilir mampu menurunkan harga gas. "Harus US$ 6 per MMBTU apa pun opsi dan strateginya (pada April 2020)," katanya. Saat ini dia tengah berusaha meyakinkan para investor agar tak beralih ke negara lain dengan memberi jaminan harga gas murah pada April nanti.
AHMAD FAIZ | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo