Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut saat ini isu soal kondisi Badan Usaha Milik Negara lebih sensitif ketimbang utang. Ia mengaku tidak pernah khawatir soal kondisi utang Indonesia saat ini lantaran berdasarkan rasio terhadap Produk Domestik Bruto masih di kisaran 30 persen. "Kalau boleh sentuh isu yang agak sensitif, saya justru khawatirnya sama BUMN," ujarnya di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis, 17 Januari 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kondisi BUMN agak merepotkan lantaran perseroan, misalnya Pertamina dan PLN, tidak boleh menaikkan tarifnya. Di sisi lain, mereka harus membangun atau eksplorasi.
Padahal untuk melakukan eksploraasi atau membangun capex perusahaan mesti naik, sementara pemasukan tidak. "Kalau capex naik tapi income enggak ada harus pinjam uang kan, issue bond," kata Chatib Basri.
Kalau perseroan-perseroan itu mengeluarkan surat utang, ia yakin investor akan menyambutnya. Sebab, mereka pasti menganggap perusahaan-perusahaan tersebut tidak akan tutup lantaran dijaga oleh pemerintah. "Ini yang jadi isu contingen liabilities, ini harus di-manage secara baik," ujar Chatib Basri. "Tapi saya tidak melihat bahwa isu itu adalah isu yang membuat Indonesia jadi masalah."
Belakangan, isu utang memang hangat menjadi perbincangan di masyarakat, salah satunya lantaran kerap disinggung dalam kritik-kritik yang dilontarkan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Walau demikian ia mengatakan utang Indonesia belum mengkhawatirkan.
Chatib Basri berujar perihal utang tidak bisa dipersoalkan hanya dari besar nominalnya. Melainkan, mesti dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto masing masing negara. "Contohnya begini, kalau dia utang 50 dan saya utang seratus itu kan belum tentu dia lebih aman dari saya," katanya. "Bisa saja dia utang 50 tapi penghasilannya seratus berarti 50 persen dari pendapatan dibayarkan utang, sementara saya utang seratus dari pendapatan 10.000."
Kalau hanya berbicara soal nominal, Chatib Basri mengatakan zaman paling aman adalah pada era kolonialisme Belanda di mana utang Indonesia hanya beberapa gulden saja. Oleh karena itu, dalam melihat utang, ia meminta masyarakat melihat rasionya terhadap PDB.
Yang kini menjadi pertanyaan, ujar Chatib Basri, adalah utang di sektor swasta. Utang di sektor tersebut memiliki risiko apabila utang dari luar negerinya cukup tinggi. Apalagi kalau perusahaan menerapkan penerimaan dari rupiah tapi pembayaran utang menggunakan dolar. "Ada risiko currency mismatch."
Walau, apabila dilihat sekarang utang luar negeri sektor swasta sekarang sudah mulai melambat pertumbuhannya. Terutama saat rupiah mengalami pelemahan. Dengan demikian, tanpa Bank Indonesia mengambil tindakan pun pinjaman dalam dolar sudah mulai berkurang. "Kalau ada itu antara parents company dan subsidiary-nya," ujar Chatib Basri. "Saya tidak melihat isu itu menjadi isu yang bermasalah."