Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN, Asih Eka Putri, angkat bicara menanggapi permintaan asosiasi rumah sakit untuk menyesuaikan kembali tarif pembayaran klaim peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal itu disampaikan menyusul rencana standarisasi kelas rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan secara bertahap mulai tahun depan.
Asih menyatakan, alasan pihaknya mengakomodir permintaan rumah sakit karena tarif pembayaran klaim pada rumah sakit dan kapitasi fasilitas kesehatan tingkat pertama atau FKTP relatif rendah per tahun. “Tarif rumah sakit dan kapitasi fasilitas kesehatan tingkat pertama sudah tidak layak, memang sudah banyak yang kelihatan dalam pantauan kita,” ujarnya ketika dihubungi, Ahad pekan lalu, 12 Desember 2021.
Tapi ia mengungkapkan saat ini DJSN belum sampai pada kesepakatan akhir ihwal besaran tarif yang bakal disesuaikan terkait dengan langkah penyesuaian indeks pembayaran klaim peserta BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Asih menyebutkan, DJSN masih mematangkan pemodelan untuk menetapkan besaran tarif yang disesuaikan dengan manfaat, kelas rawat inap standar hingga besaran iuran.
Berdasarkan Buku Statistik JKN 2015-2019, rerata biaya satuan klaim per kunjungan pada kategori Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) tidak naik secara signifikan per tahun. Untuk tahun 2015, misalnya, rerata biaya satuan klaim pada kelas 1, 2, dan 3 sebesar Rp 287.623.
Sedangkan pada 2016, rerata biaya satuan klaim sebesar Rp 286.121. Selanjutnya pada 2017 biaya satuan klaim tercatat sebesar Rp 296.777 dan pada 2018 sebesar Rp 299.057. Lalu rerata biaya klaim pada 2019 mencapai Rp 304.261.
Tren yang sama juga terlihat dari distribusi rerata biaya satuan klaim per admisi rawat inap tingkat lanjut (RITL) menurut hak kelas perawatan selama delapan tahun. Rerata biaya satuan klaim seluruh kelas sebesar Rp 4.710.827 pada tahun 2015.
Selanjutnya rerata itu mengalami penurunan menjadi Rp 4.560.623 pada 2016. Di sisi lain, rerata itu kembali mengalami kenaikan pada tahun 2017 menjadi Rp 4.806.550 dan pada 2018 mencapai Rp4.747.547. Rerata biaya satuan klaim itu menjadi Rp 4.683.632 pada 2019.
“Tarif itu terakhir ya setelah kita rampung dengan manfaat yang disepakati, kelas rawat inap dengan indikator yang disepakati, besaran iuran kemudian tarif yang nanti jadi dasar negosiasi antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan,” tuturnya.
DJSN telah menargetkan penerapan rawat inap kelas standar bagi peserta BPJS Kesehatan itu mulai ditetapkan pada pertengahan tahun depan lewat revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Merespons hal tersebut, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) meminta pemerintah untuk menetapkan iuran tertinggi bagi peserta BPJS Kesehatan seiring implementasi kebijakan rawat inap kelas standar secara bertahap tahun depan. ARSSI mengeluhkan indeks tarif pembayaran klaim kepada rumah sakit swasta belum mengalami kenaikan selama delapan tahun terakhir.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ARSSI Ichsan Hanafi menerangkan iuran tertinggi pada kebijakan rawat inap kelas standar itu diharapkan selaras dengan besaran tarif kelas I dan II yang berlaku dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres itu mengamanatkan peserta mandiri pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas I dan II masing-masing membayar iuran sebesar Rp 150.000 dan Rp 100.000.
“Tarif ini sudah hampir delapan tahun tidak naik, tarif non PBI yang empat tempat tidur mungkin disesuaikan dengan kelas satu yang sekarang, PBI yang enam tempat tidur bisa disamakan dengan tarif kelas dua sekarang,” kata Ichsan.
Sementara itu, kata Ichsan, rumah sakit swasta harus mengeluarkan biaya investasi yang relatif tinggi untuk mengatur ulang fasilitas layanan kesehatan sesuai dengan kelas standar yang menjadi amanat Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Pendapatan rumah sakit juga menipis akibat tingginya beban layanan kesehatan selama delapan tahun terakhir.
“Bayangkan kalau delapan tahun iuran ini tidak naik, UMR hampir setiap tahun naik, inflasi setiap tahun naik. Artinya, selisih (keuntungan) semakin kecil, akan sulit sekali bagi rumah sakit bertumbuh dan berkembang,” ucap Ichsan.
BISNIS
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.