Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja BPK dalam lima tahun terakhir menjadi sorotan.
Kasus obral hasil audit yang menyeret sejumlah anggota BPK menurunkan wibawa lembaga tersebut.
Kepercayaan publik atas hasil pemeriksaan BPK makin lemah.
KOMISI bidang keuangan Dewan Perwakilan Rakyat kini sedang menyeleksi anggota baru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2024-2029. Kasus obral hasil audit yang menyeret sejumlah anggota BPK menimbulkan kekhawatiran karena pemilihan anggota BPK kali ini kembali didominasi calon dari kalangan politikus, alih-alih dari kalangan profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, dalam beberapa tahun terakhir, BPK makin kehilangan wibawa karena anggotanya terlibat kasus suap dalam melakukan audit. "Tak ada upaya serius dari pimpinan BPK membangun sistem demi memastikan kinerja auditor mereka terhindar dari suap," ujarnya kepada Tempo, Ahad, 7 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imbasnya, menurut Lucius, hasil audit BPK tidak pernah menjadi rujukan serius. Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pun hanya menjadi pujian di kementerian dan lembaga. Sementara itu, Formappi mencatat kepercayaan publik atas hasil pemeriksaan BPK makin lemah.
Deretan kasus suap di BPK cukup panjang, antara lain perkara korupsi proyek menara pemancar sinyal atau base transceiver station (BTS) 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika. Perkara ini menyeret anggota III BPK, Achsanul Qosasi, yang berasal dari Partai Demokrat. Diduga ada aliran dana untuk BPK senilai Rp 40 miliar guna menutupi kasus korupsi BTS yang diselidiki Kejaksaan Agung. Pada 20 Juni 2024, Achsanul divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Terdakwa Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 7 Maret 2024. TEMPO/ Imam Sukamto
Ada pula kasus dugaan suap yang menjerat anggota VI BPK, Pius Lustrilanang, pada Desember 2023. Pius, yang berasal dari Partai Gerindra, diduga bersekongkol untuk mengkondisikan hasil pemeriksaan BPK terhadap keuangan pemerintah daerah Sorong. Pemeriksaan berawal dari surat tugas yang diterbitkan pemimpin BPK, yang disebut-sebut dikeluarkan Pius untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Dalam persidangan kasus korupsi eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, pada Mei 2024, terungkap praktik suap kepada anggota BPK. Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Hermanto menyatakan auditor BPK bernama Victor Daniel Siahaan meminta uang Rp 12 miliar agar Kementerian Pertanian mendapat opini WTP dalam Laporan Keuangan 2022.
Tanpa uang pelicin, Laporan Keuangan Kementerian Pertanian Tahun 2022 tidak memperoleh opini WTP karena hasil audit menemukan masalah dalam anggaran proyek lumbung pangan atau food estate. Temuan itu hilang setelah Kementerian Pertanian menyerahkan sejumlah uang pelicin.
Opini WTP dari BPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa opini merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa ihwal tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Namun Lucius mengungkapkan bahwa kasus suap kepada auditor BPK membuat semua hasil audit tersebut di mata publik dibayang-bayangi dugaan kecurangan. Selain itu, hasil audit BPK kerap tidak dijadikan rujukan oleh DPR untuk membongkar penyalahgunaan uang negara.
Ia berpandangan akar persoalan utama permasalahan di BPK adalah korupsi secara sistemik yang terjadi di mana-mana. Dia menduga sistem rekrutmen pimpinan lembaga auditor negara menjadi salah satu penyebab persoalan korupsi dan suap di BPK terus berulang. Sebab, ada potensi pemilihan anggota BPK melalui komisi bidang keuangan DPR dilakukan dalam skema transaksional. Transaksinya, kata dia, bisa berupa uang atau politik. Terlebih, rekrutmen anggota BPK dilaksanakan secara tertutup sehingga masukan publik sama sekali tak terdengar selama proses seleksi.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicol, pun menyatakan kondisi itu membuat BPK tidak mampu menghasilkan produk audit yang terbebas dari kepentingan. Karena itu, sangat mungkin laporan hasil pemeriksaan BPK dimanfaatkan untuk menjustifikasi kepentingan politik, bukan berangkat dari semangat penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dia berpendapat, hasil audit BPK juga rentan diselewengkan demi proteksi partai tertentu.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan efek buruknya kinerja BPK adalah banyak kerugian negara yang tak terungkap. Anthony menduga masih banyak dugaan korupsi yang belum dibongkar BPK akibat praktik suap ini. Khususnya dalam berbagai proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta badan usaha milik negara, juga pada belanja bantuan sosial.
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengimbuhkan, pembenahan harus dimulai dari proses seleksi pejabat BPK. Selain rekam jejak dan integritas kandidat, ia menekankan, genealogi politik anggota BPK merupakan hal utama yang harus dievaluasi. Pasalnya, banyak anggota BPK yang berasal dari partai.
Alih-alih menjalankan pengawasan, kondisi itu justru membuat anggota BPK menjadikan otoritasnya lapak bisnis. "Jangan berharap BPK independen dan profesional jika komposisi keanggotaannya masih diisi orang-orang partai. Ini salah satu aspek yang merusak BPK," tutur Herdiansyah kepada Tempo, Ahad, 7 Juli.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil seusai menjalani pemeriksaan perdana setelah ditetapkan sebagai tersangka di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Oktober 2019. TEMPO/ Imam Sukamto
Berpendapat berbeda, anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng, menilai kinerja pengawasan BPK sudah berjalan baik sesuai dengan standar baku yang diatur dalam undang-undang. Masalahnya, kata dia, BPK tak memiliki anggaran cukup untuk memeriksa semua kementerian dan lembaga yang mengatur uang negara, termasuk mengaudit anak usaha BUMN.
Kendati demikian, Melchias tak menampik bahwa praktik jual-beli opini WTP membuat kinerja BPK di pandangan publik buruk. Karena itu, Komisi XI menekankan agar penambahan anggaran berbanding lurus dengan perbaikan kinerja BPK. Adapun anggaran BPK dalam pagu indikatif awal sebesar Rp 4,6 triliun. Kemudian BPK meminta tambahan anggaran kepada DPR sebesar Rp 2,71 triliun. Jadi, total anggaran BPK pada 2024 sebesar Rp 7,31 triliun.
Di sisi lain, Melchias menyanggah anggapan bahwa kasus korupsi di BPK terjadi lantaran banyak anggota auditor negara dari kalangan politikus. Dia menilai tertangkapnya anggota BPK yang berasal dari partai dalam kasus dugaan suap hanya kebetulan. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan praktik yang sama bisa dilakukan anggota BPK yang bukan berasal dari partai.
Menurut Melchias, anggota partai yang lolos menjadi anggota BPK otomatis keluar dari partainya. Dengan demikian, komisi bidang keuangan DPR tak akan mempersoalkan latar belakang politik para calon anggota BPK. "Kami hanya meminta kepada setiap individu. Saya tekankan kepada teman yang maju agar berhati-hati, jangan bikin malu," katanya kepada Tempo, Ahad, 7 Juli.
Tempo telah menghubungi Ketua BPK Isma Yatun dan anggota lainnya untuk meminta konfirmasi soal evaluasi kasus suap ini. Namun, hingga berita ini diturunkan, pesan yang dikirim Tempo belum direspons.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.