Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia kembali berduka. Palu, Donggala dan sekitarnya mengalami bencana gempa yang memakan hampir 2 ribu korban jiwa hingga 8 Oktober 2018. masih ada pula 74.444 jiwa pengungsi yang tersebar di 147 titik. Mereka tentunya perlu memikirkan cara untuk bisa pulih dan bangkit dari kondisi mereka saat ini.
Baca: 2 Cara Jepang Turunkan Korban Gempa dan Tsunami
Mantan korban gempa, Dalmini, 46 tahun pun membagikan kisahnya bagaimana ia bisa bangkit dari bencana gempa Yogyakarta. Gempa di Kota Pelajar itu ternyata membawa berkah dan kemajuan bagi Dalmini dan wanita di sekitar daerahnya. Terdengar klise, tapi menurut Dalmini, kehidupan perempuan-perempuan di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu berubah drastis setelah gempa."Dulu kami hanya perajin batik yang terima orderan dari pengepul. Sekarang jadi perajin batik mandiri," kata Ketua Koperasi Wanita Kebon Indah ini.
Baca: Kisah Mengalahkan Trauma Korban Gempa yang Pernah Terkubur 18 Jam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengisahkan, gempa berkekuatan 5,9 pada skala Richter pada 27 Mei 2006 tersebut meluluh-lantakkan desanya. Sebanyak 50 persen rumah warga roboh. Kepercayaan diri para perempuan pun sirna seiring dengan robohnya istana-istana kecil mereka. Sebagian besar dari mereka adalah perajin batik karena kemampuan membatik ini diwariskan turun-temurun dari seorang ibu ke anak perempuannya, begitu seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap perajin menerima 1-2 lembar kain mori yang sudah digambari motif batik dengan pensil dari pengepul ataupun juragan batik dari Bayat, Surakarta, dan Yogyakarta. Tugas perajin hanya membatik dengan malam di dalam canting dengan mengikuti alur pola batik yang sudah ada. Lalu dikembalikan kepada pengepul dan menunggu orderan lagi. Begitu seterusnya. Satu lembar mori selesai dibatik dalam sepekan. Upah yang diterima hanya Rp 8.000-10.000 per lembar.
Saat gempa melanda, rumah-rumah rata dengan tanah. Dalmini terpaksa tidur di tenda pengungsian selama 1,5 tahun. Tak cuma soal trauma, menurut dia, warga Kebon juga banyak yang kehilangan pekerjaan. Yang lebih fatal, perempuan yang biasanya berperan sebagai pencari nafkah tambahan tak bisa lagi membatik. Alat-alat membatik, seperti wajan, kompor, dan gawangan, banyak yang rusak. Orderan membatik pun jadi macet.
Baru pada September 2009, dua lembaga, yaitu International Organization for Migration (IOM) dan Pemulihan Berbasis Komunitas (Rekompak), yang didanai Java Reconstruction Fund (JRF) menggelar program pemulihan ekonomi di sana. Melihat potensi membatik, mereka melakukan pendampingan terhadap para perajin batik. Dari 300 perajin batik sebelum gempa diseleksi menjadi 169 orang untuk didampingi selama 1,5 tahun. Syaratnya, mempunyai kemampuan membatik, berusia di bawah 60 tahun, dan belum mengikuti program pendampingan lainnya.
Mereka lalu berhimpun di bawah Paguyuban Batik Tulis Kebon Indah. Bantuan modal berupa sepaket alat membatik pun digulirkan."Kami diajari menggambar pola sendiri, membuat pewarna alami sendiri," tuturnya. Batik dengan pewarna alami akhirnya menjadi ciri khas batik tulis Kebon. Bahan-bahannya diambil dari kebun sekitar. Misalnya, warna cokelat tua dari kulit kayu mahoni, warna kuning dari kayu nangka atau kayu tegeran, dan cokelat muda dari daun jati.
Dalmini semula tak percaya diri memamerkan kain batik hasil karyanya dan teman-temannya. Tapi ada satu peristiwa ketika kain-kain batik mereka berhasil meraih perhatian tamu yang datang melihat lokasi mereka. Para tamu tertarik dan spontan membelinya, satu lembarnya dihargai Rp 150-200 ribu. Dalmini dan teman-temannya tercengang."Hasil penjualan itu terus dikembangkan sampai sekarang untuk membeli mori dan bahan. Ibaratnya, mori itu modal awal," ucapnya.
Baca: Mengapa Trauma Healing Korban Gempa Harus Maksimal? Ini Kata Ahli
Dalmini tak pernah surut memberi semangat dan motivasi kepada kelompok pembatiknya. Para pembatik saat ini lebih sejahtera. Penghasilan pembatik sebulan bisa mencapai lebih dari Rp 600 ribu-1,5 juta berdasarkan produktivitasnya. Omzet yang dikumpulkan oleh jenama Batik Tulis Kebon kini mencapai miliaran rupiah. Batik tulis Kebon juga sering diundang mengikuti pameran, seperti di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, bahkan Amerika. Pada 2017, Dalmini mewakili kelompok mengikuti pameran di San Francisco dan 10 Oktober 2018 nanti bersiap ke Chicago.