Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan kondisi keuangan PT Sriwijaya Air tak berpengaruh terhadap kewajiban perusahaan untuk menjalankan rutinitas perawatan pesawat. Menurut Denon, biaya perawatan sudah termasuk dalam kontrak manufaktur saat perusahaan membeli pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi saat beli, pesawat enggak lepas dari kontrak maintenance. Cara pembayarannya pun hourly (per jam),” ujar Denon saat dihubungi Tempo pada Kamis, 14 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denon menerangkan, sesuai dengan kontrak tersebut, pembayaran biaya pemeliharaan pesawat dihitung per penerbangan. Bila pesawat terbang selama satu jam, maskapai akan membayar ongkos perawatan selama satu jam pula.
Sistem pembayaran ini disebut sebagai maintenance reserve. Komponen biaya pemeliharaan, tutur dia, telah dimasukkan dalam unsur pembentuk harga tiket pesawat. “Jadi dalam harga tiket pesawat itu sudah termasuk biaya maintenance,” katanya. Karena itu, menurut Denon, tak ada alasan perawatan pesawat terhambat karena kinerja keuangan perusahaan.
“Perawatan pesawat bukan seperti mobil. Kita beli mobil, habis itu, kalau perlu perawatan, baru ke bengkel,” kata Denon.
Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak itu mengalami kecelakaan di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Pesawat yang mengangkut 62 penumpang serta kru penerbangan itu jatuh setelah empat menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Kinerja Sriwijaya dalam tiga tahun terakhir terus merosot, termasuk setelah pecah kongsi dengan Garuda Indonesia. Pada 2018, Sriwijaya Air terjerat utang Rp 2,47 triliun kepada sejumlah perusahaan BUMN.
Utang Sriwijaya kala itu tiga kali lipat dari asetnya. Keuntungan Sriwijaya Air pun menurun Rp 1,2 triliun.
Kemudian, Sriwijaya Air menjalin kerja sama operasi dengan Garuda pada November 2018. Namun tak sampai setahun, kedua perusahaan ini pecah kongsi. Pada 2020, maskapai diterpa paceklik karena pandemi Covid-19. Maskapai memarkirkan sejumlah pesawatnya, termasuk SJ-182, lebih dari delapan bulan.
Mantan investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Frans Wenas, mempertanyakan faktor keamanan maskapai di tengah sulitnya keuangan perusahaan. Ia mensinyalir problem perawatan tercermin saat pesawat tidak memancarkan sinyal emergency locator transmitter atau ELT sewaktu kecelakaan terjadi.
Karena itu, dia menduga cuaca buruk bukan faktor tunggal yang menyebabkan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh. "Sriwijaya kesulitan keuangan, otomatis safety (keamanan jadi berkurang). Meski pesawat laik, perlu dipertanyakan mengapa ELT tidak berfungsi," ujar Frans.
Menurut Frans, insiden kecelakaan pesawat Sriwijaya Air mirip dengan Adam Air 574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 lalu. Kecelakaan pesawat Adam Air disebabkan oleh faktor cuaca dan rusaknya sistem navigasi inersia atau IRS.
"Jadi faktor cuaca adalah contributing, bukan faktor utama. Musim hujan memang rawan kecelakaan," tutur Frans yang menjadi investigator dalam kecelakaan Adam Air belasan tahun silam.