Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyayangkan keputusan pemerintah untuk memangkas anggaran infrastruktur sebesar 34,3 persen. Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF Abdul Manap Pulungan mengatakan sektor infrastruktur memiliki multiplier effect atau efek berganda terhadap perekonomian negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul menjelaskan, pembangunan infrastruktur berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Ia pun berharap pemangkasan ini dilakukan pada aspek pemeliharaan saja, bukan pada pembangunan fisik. “Apalagi kalau yang dipotong itu adalah memang pembangunan baru. Mudah-mudahan yang dipotong ini untuk perawatan-perawatan infrastruktur ya,” ucap Abdul dalam Diskusi Publik INDEF, dikutip Ahad, 2 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemotongan belanja infrastruktur ini akan berdampak ke perekonomian daerah. “Di daerah itu stimulusnya belanja infrastruktur,” tuturnya. “Tidak bisa kita memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah kalau hanya bertumpu pada belanja pegawai.” Abdul mengatakan, belanja pegawai tidak memiliki multiplier effect terhadap perekonomian.
Sepakat dengan Abdul, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF M. Rizal Taufikurahman juga menilai pemangkasan anggaran infrastruktur akan berdampak signifikan terhadap ekonomi domestik. Pasalnya, Rizal berujar, sektor infrastruktur merupakan penggerak utama investasi dan aktivitas ekonomi.
“Dampaknya tentu berpotensi terhadap penurunan investasi produktif. Tadi disampaikan infrastruktur itu punya multiplier effect yang sangat tinggi terhadap ekonomi,” ucapnya. “Kalau dipangkas tentu akan melemahkan pertumbuhan ekonomi sektor itu.”
Kemudian, dampak lain dari pemangkasan anggaran infrastruktur ini adalah negara akan sangat bergantung pada proyek-proyek swasta. Padahal, kata Rizal, realisasi proyek pembangunan infrastruktur dengan swasta atau kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) membutuhkan waktu yang panjang.
Ia pun merekomendasikan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah ini untuk menyasar sektor lain yang tidak esensial. “Yang harus dilakukan pemerintah tentu pemangkasannya mestinya selektif.” tutur Rizal. “Hindari pemangkasan pada infrastruktur, apalagi yang mendukung terhadap produktivitas ekonomi.”
Adapun sebelum menginstruksikan efisiensi anggaran, Presiden Prabowo Subianto sempat menyatakan ingin memberi peran lebih besar kepada swasta untuk membangun jalan tol, pelabuhan, hingga bandara, perusahaan swasta dinilai lebih efisien dan inovatif. Selain itu, menurut dia, swasta berpengalaman dalam proyek infrastruktur.
Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo secara resmi memerintahkan kementerian/lembaga dan kepala daerah untuk berhemat. Perintah berhemat itu dituangkan lewat Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.
Dalam instruksi tersebut, Prabowo minta jajarannya untuk melakukan efisiensi atas anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306,6 triliun yang terdiri atas efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,1 triliun, dan efisiensi anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.
Menindaklanjuti instruksi Prabowo, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian menerbitkan surat S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi belanja K/L untuk tahun anggaran 2025. Dalam lampiran II surat tersebut, tercantum 16 item belanja yang perlu dipangkas anggarannya dengan persentase yang bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 90 persen. Rinciannya, efisiensi anggaran pos belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar 90 persen; kegiatan seremonial 56,9 persen; rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen; kajian dan analisis 51,5 persen; diklat dan bimtek 29 persen; serta honor output kegiatan dan jasa profesi 40 persen.
Kemudian, percetakan dan souvenir 75,9 persen; sewa gedung, kendaraan, peralatan 73,3 persen; lisensi aplikasi 21,6 persen; jasa konsultan 45,7 persen; bantuan pemerintah 16,7 persen; pemeliharaan dan perawatan 10,2 persen; perjalanan dinas 53,9 persen; peralatan dan mesin 28 persen; infrastruktur 34,3 persen; serta belanja lainnya 59,1 persen.