Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, memperkirakan kontribusi pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2018 tidak akan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini. Dari hitungannya, pilkada serentak 2018 hanya menyumbang 0,01-0,02 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Peredaran uang mungkin naik, tapi untuk overall, ekonomi belum bisa dongkrak," ujar Bhima, Rabu, 27 Juni 2018. Dampak yang tidak signifikan ini disebabkan oleh beralihnya iklan dari media tradisional ke media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membatasi alat peraga, seperti banner dan poster, di mana pemasangan tidak boleh dimulai sebelum waktu kampanye. Alat peraga yang dipasang sebelum kampanye akan ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). "Jadi spending iklan kampanye tidak besar," tutur Bhima.
Namun dia melihat ada kemungkinan belanja pemerintah untuk keperluan pilkada dapat membantu mengerek perekonomian. Pada pilkada serentak yang digelar Rabu kemarin, ada 171 daerah di seluruh Indonesia yang ikut serta. Daerah-daerah itu terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Adapun ekonom CORE Indonesia, M. Faisal, menilai pilkada serentak 2018 di 171 daerah yang berjalan tertib dan aman menjadi modal kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada 2019. "Stabilitas politik modal penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Dia meyakini efek pemilu presiden untuk mendorong konsumsi rumah tangga akan lebih masif dibandingkan dengan pilkada 2018. Pasalnya, pilkada serentak lebih banyak membantu konsumsi rumah tangga kelas menengah-bawah dan kontribusi konsumsi rumah tangga kelas tersebut kecil. "Sekitar 40 persen pendapatan terbawah hanya 17 persen konsumsi nasional," ujar Faisal.