Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Nusa Dua - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan kinerja industri kelapa sawit tahun ini tidak lebih baik dibandingkan tahun lalu. Hal tersebut di antaranya terlihat dari segi harga pada 2023 yang tidak sebaik tahun 2022, ditambah dengan faktor El Nino yang berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar mengalami stagnasi produksi dalam beberapa tahun terakhir akibat lambatnya kemajuan dalam penanaman kembali oleh petani kecil,” ujar Eddy dalam acara Konferensi Kelapa Sawit Indonesia ke-19 atau IPOC 2023 di Bali International Convention Center, Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Kamis, 2 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Per Agustus 2023, Gapki mencatat produksi kelapa sawit mencapai 36,3 juta ton dengan ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia lebih dari 23,4 juta ton. Adapun industri ini memberikan kontribusi sekitar US$ 20,6 miliar terhadap devisa Indonesia.
Sementara menurut data Kementerian Pertanian yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), volume produksi kelapa sawit Indonesia pada 2022 mencapai 45,58 juta ton.
Menurut dia, El Nino tahun ini diperkirakan akan mempengaruhi produksi tahun depan. Sementara pemerintah akan terus menerapkan program B35 (Biodiesel 35 persen) dan meningkatkan konsumsi pangan dan industri dalam negeri.
Lebih lanjut, Eddy menyampaikan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, terlihat penurunan harga minyak sawit global yang dipicu oleh melemahnya daya beli akibat perlambatan ekonomi di berbagai negara dan melimpahnya stok di negara-negara produsen. Selain itu, ancaman krisis pangan dan energi, serta hambatan perdagangan dari negara importir, salah satunya EUDR (UU Anti Deforestasi), membuat ketidakpastian semakin melebar.
Menyikapi hal tersebut, ketua Gapki itu berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah-langkah untuk menjaga daya saing industri kelapa sawit Indonesia, dengan memperkuat produksi minyak sawit berkelanjutan dan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif. “Serta memperjuangkan perdagangan bebas dan adil apapun hambatan perdagangannya,” kata dia.
Adapun industri kelapa sawit merupakan penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia, bahkan di dua setengah tahun pandemi Covid-19, kontribusi devisa kelapa sawit tetap signifikan sehingga neraca perdagangan Indonesia tetap surplus.
“Sebagian besar dari kita optimistis menyambut peluang di tahun 2024. Kami yakin dengan kebijakan pemerintah yang tepat, industri kelapa sawit dapat tumbuh dengan mantap di tengah dinamika pasar dan perekonomian,” tutur Eddy.