Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2024 sulit tercapai. Dalam laporan Capaian Sektor ESDM 2024, investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) hanya mencapai US$ 1,8 miliar dari target US$ 2,6 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut buruknya iklim investasi menjadi biang keladi mandeknya pengembangan energi terbarukan. "Struktur industri kelistrikan yang belum kompetitif, kebijakan yang tidak konsisten, serta preferensi terhadap batubara melalui skema Domestic Market Obligation (DMO) menghambat investasi," kata Fabby dalam keterangan resminya dikutip Sabtu, 15 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi bauran energi terbarukan tahun ini hanya meningkat tipis dari 13,9 persen di 2023 menjadi 14,1 persen di 2024. Angka ini masih jauh dari target 19,5 persen yang harus dicapai tahun ini.
Untuk mempercepat transisi energi, IESR mendorong pemerintah memperbaiki kualitas kebijakan dan regulasi, menyederhanakan perizinan, serta memberikan insentif fiskal bagi investor energi terbarukan. Selain itu, pemanfaatan pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai perlu dioptimalkan.
IESR juga menyoroti lonjakan produksi batubara nasional yang mencapai 836 juta ton tahun ini, jauh di atas target 710 juta ton. “Meningkatnya produksi batubara justru menunjukkan melemahnya komitmen transisi energi Indonesia,” ujar Fabby.
Di sisi lain, IESR mengapresiasi rencana pensiun dini PLTU Cirebon I dan penggantian dengan PLTS serta pembangkit berbasis energi terbarukan lainnya. Namun, Fabby menilai proses keputusan final pensiun dini PLTU itu masih berjalan lambat sejak 2022. “Pemerintah harus lebih serius menghitung manfaat dan biaya penghentian operasi PLTU secara bertahap hingga 2050. Kajian IESR menunjukkan bahwa pada 2030, biaya produksi listrik bisa lebih murah jika energi terbarukan menyumbang lebih dari 30 persen dalam sistem kelistrikan,” kata Fabby.
IESR mendesak adanya sinergi lebih kuat antar kementerian, termasuk Kementerian ESDM, Kementerian Investasi, Kementerian Keuangan, dan Bappenas, guna menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan menarik bagi investor.