Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah kios, Bu Darmo, seorang pedagang cabai, tampak sibuk melayani orang yang membeli dagangannya untuk dijual kembali ke pasar-pasar menengah dan kecil. Bandar cabai itu mengaku dagangannya tidak terpengaruh menguatnya dolar. ''Ah, siapa yang mikirin dolar?" ujarnya lugas, ''orang kita enggak pakai dolar. Kita kan ngambil barang langsung dari asalnya, kampung para petani." Ia mengaku harga cabai memang sedang tinggi. Tapi penyebabnya, ''Cabai merah atau keriting hasil panenan memang sedang langka. Lagi pula, sesampai di sini banyak yang rusak. Otomatis harganya naik. Apalagi kita kan pakai angkutan yang biayanya besar," katanya lagi.
Bagi Bu Darmo, hingga saat ini harga cabai memang masih normal. ''Para pembeli pun tahu itu," ujarnya. Harga cabai rawit merah sekarang Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per kilogram. Minggu lalu memang sempat mencapai Rp 10.000, tapi sekarang sudah turun lagi. Jadi, naik-turunnya nilai dolar tak berpengaruh terhadap dagangannya. ''Kebetulan saja kali, ya. Buktinya juga pendapatan kita tetap aja, tuh," ujarnya.
Hal senada disampaikan Pak Sormen, 63 tahun. Pedagang kentang ini mengaku tidak ada sedikit pun pengaruh dolar terhadap dagangannya. Memang ada barang yang harganya naik. ''Tapi itu kan hanya karena terlambat datang dan gagal panen, atau memang sudah langka. Apalagi, ada daerah-daerah yang sering ribut, sehingga transportasi susah," ujarnya sambil berkipas-kipas. Sejauh ini harga kentang, menurut Sormen, stabil antara Rp 2.400 dan Rp 2.500 per kilogram.
Lain cabai dan kentang, lain pula dengan kembang kol dan kol bulat. Pak Dayat, 57 tahun, sebagai pedagang dan pemasok kol, mengaku harga dagangannya memang sempat naik. Tapi itu lantaran angkutan yang terhalang di Pelabuhan Bakauheni, sehingga terlambat sampai ke Jakarta. Menurut Pak Dayat, selain dari Jawa, dagangannya juga dipasok dari Sumatra. Sehingga, ketika pelabuhan penyeberangan Bakauheni kemarin macet total, kiriman pun menjadi terlambat. Kini harga dagangannya dianggap stabil saja, dengan kisaran harga per kilogram, kol bulat Rp 1.500, kembang kol Rp 3.000-an. ''Kembang kol saja minggu ini bisa bertahan terus sampai Rp 3.000," katanya.
Masih stabilnya harga-harga di pasar induk Kramatjati diakui juga oleh Ibu Nunung, 56 tahun, seorang pembeli yang bertempat tinggal di kawasan Cimanggis. ''Memang, sih, ada harga yang naik, tapi itu karena barangnya langka, seperti ketimun. Kemarin-kemarin harganya Rp 13.000 per kilo, sekarang enggak bisa turun dari Rp 15.000 per kilonya," ujarnya. Pendapat senada dilontarkan Ibu Rukmini, 46 tahun, seorang karyawati yang mengaku selalu berbelanja di Kramatjati selepas kerja. ''Sampai sekarang kayaknya harga-harga masih biasa-biasa aja, tuh. Memang, sih, ada yang naik, apalagi cabai," ujarnya. ''Tapi, kata penjualnya, memang barangnya lagi jarang dan panennya rusak. Jadi, mau diapain?"
Ketika ditanya mungkinkah naiknya harga tersebut karena dolar yang menguat, Ibu Rukmini hanya tertawa. ''Apa hubungannya? Orang kita pakai rupiah. Dan ini kan pasar tradisional, bukan yang industrian. Enggak tahu, yah, kalau yang di supermarket atau lainnya, mungkin di sana terpengaruh," ujarnya. Malam pun menjelang. Tapi, semakin malam, pasar induk itu justru terasa makin ramai. ''Pasar ini memang hidup 24 jam," ujar Haji Sugyono Ceplaka, Kepala Pasar Induk Kramatjati, kepada TEMPO di kantornya.
Pak Ceplaka menyatakan bahwa kenaikan beberapa harga sayur cenderung karena hal biasa, misalnya lantaran gagal panen atau rusak. Kenaikan harga kol, misalnya, hanya karena Pelabuhan Bakauheni sedang krodit karena musim liburan, jadi terlambat sampai ke Jakarta. Belum lagi barangnya ada yang rusak. Maka, dengan barang yang terbatas, harga bisa melonjak naik. Dan itu wajar saja. Harga cabai juga demikian, karena didatangkan dari Wates, Rembang, Brebes, juga dari Liwa (Sumatra). Selain faktor kemacetan, juga ada daerah-daerah yang terlibat tawuran, seperti di Indramayu. Jadi, penyebab kenaikan harga, ''Paling transportasi, panen yang gagal, atau barang rusak. Bukan dolar," ujar Pak Ceplaka sambil tertawa.
Tak hanya di Kramatjati, harga di pasar swalayan pun ternyata tak mengalami perubahan berarti. Menurut Poedji I.H. Prasetyo, Legal and Corporate Secretary Hero Pasar Swalayan, pihaknya justru sejak tiga bulan lalu melancarkan program promosi turun harga bertajuk ''Rupiah Dazzler." An Lien, Manager On Duty Hero Gondangdia, juga mengaku bahwa semua cabang Hero Pasar Swalayan tidak menaikkan harga. Menurut dia, Hero baru akan menaikkan harga apabila harga barangnya naik dari produsen.
Tak naiknya harga barang-barang di Hero diakui Merry, 38 tahun, seorang pelanggan Hero Manggarai. Ibu rumah tangga ini malah menunjuk sejumlah barang yang harganya lebih murah ketimbang di tempat lain. ''Makanan kecil itu saya beli banyak buat anak-anak yang lagi di rumah, maklum namanya juga musim libur sekolah," ujarnya.
Bagaimana dengan barang kebutuhan rumah tangga lainnya seperti sayur dan buah-buahan? Ibu Ade, 29 tahun, seorang pembeli di gerai Gondangdia, mengaku harga sayur dan buah yang dipatok Hero Pasar Swalayan memang relatif mahal. Selisih harga pasar tradisional dan harga Hero bisa mencapai Rp 5.000. Namun, toh ia berbelanja di Hero juga. Selain kenyamanan, Ibu Ade merasa praktis dengan kemasan yang dipatok Hero. Untuk cabai, misalnya, Hero mengemas dengan satuan 150 dan 250 gram. ''Itu lebih cocok untuk keluarga kecil seperti saya," demikian tuturnya.
Tak adanya kenaikan harga juga bisa ditemui di retail raksasa Carrefour Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Beberapa pembeli mengaku tidak ada kenaikan yang berarti pada harga-harga sembilan bahan pokok dan sayur-mayur dibandingkan dengan minggu lalu. ''Kalaupun ada sedikit naik, masih normal, kok," kata Widuri, ibu muda yang tinggal di bilangan Senayan. Pembeli lain juga mengatakan hal serupa. Mereka pada awalnya sempat khawatir harga-harga bakal melonjak seiring dengan jatuhnya nilai rupiah. Tapi, setelah berbelanja dalam beberapa hari ini, ''Harganya masih relatif sama," ucap Irawati, yang siang itu berbelanja bersama anaknya yang masih bayi.
Tapi kegembiraan konsumen lantaran tak adanya kenaikan harga ini tampaknya tak akan berlangsung lama. Pasalnya, sudah ada bisik-bisik bahwa beberapa produsen barang konsumsi dalam waktu dekat akan mulai menaikkan harga. ''Direksi perusahaan saya sudah rapat untuk membicarakan kemungkinan itu," ujar seorang karyawan perusahaan barang konsumsi yang menghasilkan sabun cuci, obat serangga, pewangi ruangan, dan tisu basah itu. Seberapa besar kenaikannya? Itu yang belum jelas. Sebuah perusahaan consumer goods asal Amerika, kabarnya, malah sudah menetapkan harga baru untuk pasar lokal pada 1 Juli lalu. Produk yang mengalami kenaikan harga itu terutama adalah sampo. Sedangkan produk lainnya seperti obat batuk, popok bayi, pembalut wanita, sabun mandi, pelembap kulit, dan obat jerawat untuk sementara harganya masih tetap seperti semula.
Kendati bakal menyusahkan konsumen, menurut para importir, kenaikan harga tersebut tak terelakkan. Soalnya, beberapa bahan bakunya masih diimpor. Karena itu, mereka juga meramalkan, dalam waktu dekat harga susu dan makanan bayi juga akan naik. Jadi, bersiap-siaplah.
Nugroho Dewanto, Levi Silalahi, Gita W. Laksmini, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo