Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Deru mesin motor dan suara keluhan warga menyatu di jalanan sempit Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, pagi itu. Beberapa orang tampak menjinjing tabung gas LPG 3 kg dengan wajah lega, sementara sebagian lainnya hanya bisa pulang dengan tangan kosong. Sejak pukul 07.00 WIB, antrean sudah mengular di pangkalan gas setempat. Namun, tak sampai 15 menit, stok sudah ludes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sudah antre lama, tapi tetap enggak kebagian. Ada yang boleh beli dua, ada yang cuma satu. Enggak adil," keluh Feni, warga setempat, yang sudah mendatangi tiga pangkalan berbeda sejak pagi. Namun, hasilnya nihil. "Diminta balik besok, tapi siapa yang jamin besok ada?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang penjaga di pangkalan gas mengatakan tokonya tak diperbolehkan menyetok dalam jumlah banyak. Ia mengatakan di situasi seperti ini tokonya hanya bisa menyediakan stok 50 gas melon sehari. "Siapa cepat dia dapat. Kalau mau dapat harus antre dari sebelum mobil pengantar gasnya datang," kata dia.
Di gang-gang kecil, situasi serupa terlihat. Para ibu rumah tangga dan pedagang kecil masih sibuk mencari tabung hijau yang kini kian langka. Ima, pedagang nasi uduk di Kebon Baru V, tampak pasrah. Gas terakhir di rumahnya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari, bukan untuk berjualan. "Saya keliling sama cucu dari kemarin, tetap gak dapat. Kalau begini, gimana saya mau jualan? Gas kan ada, tapi ditahan-tahan. Di Tangerang orang sampai ngamuk. Kita butuh, tapi malah dipersulit," keluhnya.
Kesulitan serupa juga dialami Farida, warga Jl Bumi, Mayestik, Jakarta Selatan. Dua hari berturut-turut ia mencari gas di pangkalan, namun selalu kehabisan. "Terpaksa beli di agen resmi langsung, meski harganya lebih mahal," ujarnya.
Ia pun geram dengan situasi ini. "Pemerintah pada kenapa sih? Orang susah dibikin makin susah," katanya dengan suara meninggi. Kemarin, ia melihat seorang nenek berjalan dengan susah payah mencari gas. Hal itu mengusik empatinya. "Udah tua, jalan jauh-jauh, sampai agen gasnya habis. Kita mau nolongin juga bingung, kita sendiri butuh," ucapnya.
Selain kelangkaan, harga LPG 3 kg juga tak menentu. Di beberapa tempat, warga mengaku harus membayar hingga Rp 30.000 per tabung, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET). Hingga kini belum ada penjelasan resmi dari pihak berwenang ihwal penyebab kelangkaan yang terus berulang.
Warga hanya bisa berharap gas melon kembali tersedia agar dapur mereka tetap mengepul dan usaha kecil bisa terus berjalan. Di tengah antrean panjang dan harga yang melambung, warga hanya bisa berharap segera ada kepastian dari pemerintah.
Pilihan editor: Fitra Usulkan Prabowo Evaluasi Kinerja Menteri setelah 100 Hari untuk Hemat Anggaran