Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Saat produksi perdana pada Agustus nanti, Freeport baru bisa menggunakan separuh kapasitas pabrik yang bisa mengolah 1,7 juta ton tembaga tersebut. Smelter single line terbesar di dunia ini baru bisa beroperasi optimal pada Desember 2024.
Di dalam negeri, penyerapan hasil olahan tembaga masih minim. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Haykal Hubeis mengatakan industri hilirnya tak begitu berkembang.
Peran pemerintah krusial untuk menghadirkan industri hilir. Sebab, penghiliran yang benar terjadi ketika terbentuk ekosistem yang saling terkait dari hulu.
TUNGKU di smelter anyar PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, mulai beroperasi kemarin, 27 Juni 2024. Setidaknya, dalam enam pekan ke depan, alat pembakaran tersebut bakal bekerja hingga mencapai titik panas 1.400 derajat Celsius agar bisa mulai mengolah konsentrat tembaga. "Kita akan mencoba agar katoda tembaga bisa mulai diproduksi pertengahan Agustus nanti," ujar Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas saat meresmikan smelter Freeport, kemarin.
Pabrik ini sudah lama dinanti. Freeport berkomitmen mendirikan fasilitas pengolahan tembaga sejak 2018 sebagai syarat perpanjangan izin usaha pertambangan di dalam negeri. Proyek tersebut seharusnya rampung pada akhir 2023. Namun perusahaan berdalih terhalang pandemi Covid-19 yang merebak pada 2020. Akibatnya, Freeport mengundur target penyelesaian konstruksi hingga Mei 2024.
Saat produksi perdana pada Agustus nanti, Freeport baru bisa menggunakan separuh kapasitas pabrik yang dapat mengolah 1,7 juta ton tembaga tersebut. Tony mengatakan smelter single line terbesar di dunia ini baru bisa beroperasi optimal pada Desember 2024.
Bersama pabrik yang dioperasikan PT Smelting, smelter Freeport akan memurnikan 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun dengan produksi sekitar 600 ribu ton katoda tembaga, 50 ton emas, dan 200 ton perak per tahun.
Menurut Tony, hasil olahan konsentrat tembaga ini sudah banyak peminat. Dia memproyeksikan permintaan tembaga dunia terhadap produk tersebut bakal meningkat. Salah satunya untuk mendukung transisi energi yang belakangan populer di dunia. "Sebanyak 70 persen dari tembaga dunia ini digunakan untuk mengantarkan listrik dan negara-negara sekarang berlomba-lomba untuk membuat transisi energi menjadi energi yang berkelanjutan, dan ini butuh tembaga sangat banyak," katanya.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas saat meresmikan smelter di Gresik, Jawa Timur, 27 Juni 2024. TEMPO/Hanaa Septiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tony juga berharap terbuka peluang untuk memasarkan produknya di dalam negeri. Ongkos angkut bakal lebih murah dibanding jika perusahaan harus ekspor. Selain itu, permintaan yang muncul menandakan berjalannya penghiliran tembaga di dalam negeri.
Namun penyerapan hasil olahan tembaga di dalam negeri masih minim. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Haykal Hubeis mengatakan industri hilirnya tak begitu berkembang. Padahal katoda tembaga dibutuhkan untuk beragam industri, seperti elektronik, otomotif, telekomunikasi, dan kelistrikan. "Ada faktor kompleksitas regulasi yang acapkali berubah dan dinilai tidak konsisten juga minim insentif dibanding negara-negara tetangga lainnya," kata dia. Harga jual yang belum bisa bersaing dengan harga katoda tembaga impor juga menjadi tantangan sendiri.
Haykal berharap ada upaya pemerintah untuk mendongkrak serapan pasar domestik. Salah satunya dengan memberikan stimulus, seperti insentif pajak dan subsidi, agar industri hilir mau menggunakan tembaga sebagai bahan baku utama. "Selain itu, konsentrasi ke penguatan infrastruktur pendukung dan berfokus ke penyederhanaan regulasi serta birokrasi yang memudahkan investasi di sektor hilir."
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli pun menyebutkan industrialisasi yang tak berkembang berisiko menyulitkan serapan olahan konsentrat tembaga di dalam negeri. "Seharusnya ini bisa diolah lebih lanjut untuk menghasilkan produk jadi, seperti kabel listrik dan pipa tembaga, yang sekarang sebagian besar bahan bakunya masih diimpor dari negara lain," tuturnya.
Kehadiran industri turunan bakal mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Apalagi, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, pengusaha yang berorientasi impor berpotensi tak bisa melanjutkan produksi lantaran bahan bakunya menjadi mahal.
Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Bobby Soemiarsono (kanan), plt Dirjen Minerba Letjen (Purn) Bambang Suswantono, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, serta Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani saat peresmian operasi smelter PTFI di Smelter PTFI, Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated and Industrial Port Estate, Gresik, Jawa Timur, 27 Juni 2024. ANTARA/Rizal Hanafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan peran pemerintah krusial untuk menghadirkan industri hilir. "Hilirisasi yang benar itu terjadi ketika terbentuk ekosistem yang saling terkait dari hulu, jadi bukan sekadar mengolah menjadi katoda tembaga," katanya.
Dengan strategi itu, barulah Indonesia bisa menikmati nilai tambah dari pengolahan tembaga. Menurut Fahmy, pemerintah bisa merancang pertumbuhan industri turunan dengan melarang ekspor, dari konsentrat hingga katoda tembaga.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan masih ada peluang untuk penyerapan olahan konsentrat tembaga di dalam negeri. Merujuk pada data Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia, Indonesia mampu memproduksi kabel dan rod sebanyak 450 ribu ton selama ini. Sementara itu, kebutuhan dari pasar domestik hanya bisa disuplai PT Smelting, anak usaha Freeport, yang memproduksi katoda tembaga sebanyak 300 ribu ton dan mengimpor 186 ribu ton di antaranya. Peluang lain datang dari pabrik tembaga foil yang baru dibangun di Gresik oleh PT Hailiang Nova Material Indonesia.
Menurut Agus, pemerintah telah menyusun rencana induk pembangunan nasional yang memfokuskan pengembangan industri penghasil paduan logam tembaga dan copper atau brass sheet. Mulai tahun depan, pemerintah bakal menggenjot peningkatan kapasitas produksi seiring dengan peningkatan kebutuhan pasar. "Termasuk kebutuhan tembaga pada industri kendaraan listrik," katanya kepada Tempo, kemarin.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan timnya sedang bekerja untuk menarik minat investor membangun industri penunjang pengolahan konsentrat tembaga di dalam negeri. Dia yakin Indonesia menjadi tempat menarik lantaran memiliki bahan baku dan kini fasilitas pengolahan serta pemurniannya. "Yang sudah antre banyak. Tenang saja," katanya dalam peresmian smelter Freeport, kemarin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hanaa Septiana dari Gresik berkontribusi dalam penulisan artikel ini.