Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Keran Ekspor Benur Dibuka Lebar, Budidaya Lobster Terancam

Budidaya lobster di dalam negeri terancam akibat ekspor benur besar-besaran.

14 Juli 2020 | 18.02 WIB

Benih lobster. Foto: KKP
Perbesar
Benih lobster. Foto: KKP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Himpunan Pembudi Daya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy Wong mengatakan pembukaan keran ekspor benih lobster atau benur dapat melemahkan semangat budidaya. Musababnya, dampak ekspor membuat harga komoditas di lapangan kian tinggi sehingga tidak terjangkau di kalangan para pembudidaya.

"Sebelum diekspor, harga per benih Rp 2.000-4.000. Setelah dibuka ekspor, harga per benih Rp 15-17 ribu. Kemampuan daya saing dari pembudidaya jadi melemah, tutur Effendy dalam diskusi virtual pada Selasa, 14 Juli 2020.

Dengan kondisi demikian, Effendy khawatir suplai benur di dalam negeri menjadi terlampau deras dan jumlah perusahaan yang memperoleh izin ekspor lobster kian tidak terbendung. Walhasil, nilai beli dari negara tujuan ekspor, seperti Vietnam, pun bakal melorot dan mendorong nelayan tangkap menjaring kembali benih lobster di laut lepas. "Ini memberi dampak pembudidaya di Indonesia kembali jadi nelayan tangkap," tuturnya.

Effendy mengusulkan, untuk mengembangkan budidaya, pemerintah mestinya mengatur akses pasar dan membekali nelayan tangkap dengan pelbagai pelatihan. Musababnya, saat ini secara geografis, titik budidaya lobster dengan lokasi pasar masih terlalu jauh sehingga mengganggu distribusi komoditas.

Sejalan dengan hal itu, pemerintah didorong untuk mengembangkan balai riset agar menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang tepat untuk budidaya lobster di Tanah Air. "Supaya budidaya kita kualitasnya tidak kalah dengan Vietnam," tuturnya.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto mengatakan pemerintah tengah menghadapi banyak tantangan untuk mengembangkan budidaya lobster. Dari sisi pakan, kata dia, budidaya komoditas itu masih bergantung pada pasokan benih alam dan pakan runcah. Sedangkan pakan alternatif yang dikembangkan masyarakat diakui masih sangat kurang.

Adapun dari segi teknologi, budidaya lobster dengan dengan skala tradisional disebut memerlukan waktu yang cukup lama, yakni 9 bulan hingga 1 tahun. Sumber daya manusianya pun, kata Slamet, mesti ditingkatkan serta akses permodalannya ditambah.

Menurut Slamet, situasi ini membuat daya saing lobster di Indonesia kalah dengan negara lain. Dibandingkan dengan Vietnam dan Taiwan, misalnya, pasar Tanah Air masih tertinggal lantaran secara geografis pusat perdagangan lobster di dalam negeri jauh dari tempat budidaya. "Sistem usaha budidaya juga belum terintegrasi dari hulu ke hilir," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus