SERAYA melambai-lambaikan bendera Amerika, para pialang melangkah memasuki gedung bursa New York, Senin pekan lalu, dalam suasana yang masih digayuti kecemasan dan ke-tidakpastian. Tragedi Selasa Hitam, 11 September lalu, telah membuat segalanya tak lagi seperti dulu. Aktivitas jual-beli saham memang kembali menandai denyut kawasan yang merupakan jantung bisnis Amerika Serikat itu. Tapi negeri adikuasa ini, yang sejak akhir tahun lalu sudah menunjukkan tanda-tanda resesi, sekarang tampak sulit untuk segera terbebas dari keguncangan dahsyat yang dideritanya.
Tak bisa dimungkiri, aksi teror yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) telah menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian Amerika. Indeks semua bursa kian merosot dan suhu politik, sebaliknya, kian memanas di Negeri Abang Sam itu. Pekan lalu, indeks Dow Jones kembali meluncur ke titik terendah sejak longsor besar Black Friday, Oktober 1987. Indeks Nasdaq—bursa yang memperdagangkan saham perusahaan-perusahaan kecil—tanpa dapat dicegah ter-pelanting ke level 1.470,93. Dan inilah posisi terendah sejak Oktober 1998.
Ironisnya, para investor seakan tak mem-pedulikan upaya pemerintah dan swasta untuk menjaga agar indeks bursa tidak sampai terjun bebas. Federal Reserve—biasa disebut The Fed—yakni bank sentral Amerika Serikat, telah memangkas suku bunga sebanyak 0,5 persen menjadi hanya 3 persen. Langkah itu diambil semata-mata untuk mendorong para pemilik uang agar membelanjakan dolarnya atau menggunakannya untuk kegiatan produktif. Setelah itu, barulah mesin ekonomi Amerika yang bergerak lamban bisa kembali melaju kencang.
The Fed juga menggelontori pasar uang dengan likuiditas dalam jumlah ratusan miliar dolar untuk mencegah kepanikan. Sementara itu, seirama dengan langkah The Fed, Menteri Keuangan Amerika, Paul O'Neil, telah me-negaskan tekadnya untuk "tidak membiarkan industri besar jatuh karena kejadian-kejadian buruk belakangan ini." Katanya, sektor strategis memerlukan dorongan yang tepat dan itu dapat dilakukan dengan menggunakan uang para pembayar pajak.
Beberapa perusahaan sekuritas besar tak mau ketinggalan. Bersama-sama, para eksekutif keuangan menyingsingkan lengan baju, membantu negerinya yang sedang lara. Dalam unjuk solidaritas yang terhitung langka, mereka berjanji memborong saham di bursa-bursa Amerika—supaya harganya tidak jatuh. Bersamaan dengan itu, beberapa pelaku pasar kaliber dunia—termasuk Warren Buffett dan Pangeran Al Walid bin Talal—juga memberikan komitmen untuk tidak menjual saham yang kini berada dalam portofolio mereka
Apa daya, indeks saham tetap merosot. Kegagalan itu mungkin karena janji mendongkrak harga saham belum direalisasi dalam tindakan nyata. Malah, ada selentingan yang menyebutkan bahwa para pemain bursa itu tetap saja mencari keuntungan. "Kalaupun memborong saham, mereka menunggu sampai harganya mencapai titik terendah," begitulah bunyi rumor yang beredar. Karena itu, diragukan pula adanya penanam modal yang tidak melepas sahamnya kendati harga saham itu sudah ambrol. Soalnya, kalau dia memilih menjadi patriot sejati, pastilah akan menderita rugi besar (potential loss). Nah, siapa yang mau?
Akibatnya, walaupun suku bunga ditekan, bursa-bursa saham Amerika tanpa kecuali dilanda gelombang penjualan saham yang dramatis. Apa penyebabnya? Para analis menyalahkan situasi ketidakpastian ekonomi dan kekhawatiran akan serangan balasan Amerika atas tragedi WTC, yang salah-salah bisa menyeret dunia ke dalam jurang resesi.
Kebetulan, pasar modal Jakarta relatif tak terlalu terpengaruh oleh keadaan bursa Amerika dan bursa di negeri-negeri jiran. Penyebabnya, tak lain, ekonomi Indonesia lebih digerakkan oleh konsumsi domestik ketimbang ekspor. Namun, melemahnya bursa Amerika dan bursa-bursa regional tetap membuat bursa Jakarta ikut terkena imbasnya. Pekan lalu, indeks bursa Jakarta turun 7,919 poin dan ditutup pada level 414,427. Sedangkan nilai transaksi tercatat hanya Rp 343 miliar.
Padahal, minggu lalu, bursa Jakarta men-dapat angin segar dengan dinaikkannya bobot investasi portofolio oleh J.P. Morgan menjadi 0,75. Apa boleh buat, para investor rupanya lebih mengkhawatirkan aksi militer Amerika yang digerakkan untuk menghukum Osama bin Ladin—teroris yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya tragedi WTC. Di mata mereka, aksi Amerika itu dikhawatirkan menimbulkan pembalasan di dalam negeri. "Bayangkan kalau ada gereja atau kepentingan Amerika di Indonesia dibakar. Indeks pasti akan langsung jatuh," kata Joshua Tanja, analis dari Nomura Securities.
Berdasarkan data yang ada, selama delapan bulan terakhir, sekitar 90 persen transaksi harian Bursa Efek Jakarta dikuasai oleh investor lokal. Nah, buat penanam modal seperti itu, ketegangan seperti aksi bakar-bakaran atau teror bom akan langsung ditanggapi dengan aksi yang sederhana: menjual saham. Soalnya, situasi itu dinilai sebagai bentuk tak adanya stabilitas politik dan keamanan, yang langsung bersinggungan dengan kepentingan mereka.
Ujung-ujungnya, kalau kondisi bursa Jakarta hancur-hancuran, semua pihak akan menanggung rugi. Apalagi pemerintah berniat menjual sejumlah aset di BPPN dan BUMN lewat pasar modal. Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi memang sudah merespons kondisi itu dengan menyatakan akan melakukannya lewat penjualan kepada investor strategis. Tapi, kalau melihat cara-cara pemerintah memperlakukan investor strategis seperti dalam penjualan Semen Gresik, BCA, dan Bank Bali, mungkinkah cara itu bisa menjadi alternatif yang disukai investor?
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini