Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mempercepat pengakuan dan penetapan hutan adat di seluruh Indonesia. Ditargetkan, sebanyak 4,38 juta hektar hutan adat bisa diberikan pengakuan untuk kemudian dikelola oleh masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya sudah sampaikan usulan ke Pak Presiden, kalau target realistis sampai akhir 2019 adalah 4,38 juta, dari total 12,7 juta hektar," kata Menteri KLHK, Siti Nurbaya dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Penetapan Hutan Adat di Jakarta, Selasa, 23 Januari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan pengakuan hutan adat sendiri merupakan bagian dari program perhutanan sosial yang digagas KLHK. Program ini bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi melalui pemanfaatan hutan. Program perhutanan sosial ini menjadi pegangan bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan negara seluas 12,7 juta hektar secara legal.
Siti mengklaim bahwa kesenjangan sosial akan bisa teratasi jika masyarakat diberikan akses kelola terhadap hutan. Selain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pengakuan hutan adat oleh pemerintah juga bertujuan untuk menjalankan upaya konservasi perlindungan hutan. "Untuk pemanfataannya bagi kesejahteraan masyarakat," kata Siti.
Sampai awal Januari 2018, Siti menuturkan jumlah hutan adat yang telah ditetapkan masih berjumlah sekitar 1,4 juta hektar. Rakornas ini kemudian pun akhirnya digelar untuk memperdalam analisis dan kondisi dari masing-masing hutan adat, selain untuk membahas percepatan penetapan. "Tak hanya dari data yang sudah ada, KLHK juga membuka usulan hutan adat jika masih ada."
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto mengaku telah membicarakan upaya percepatan ini dengan sejumlah ahli terkait. Menurut dia, setidaknya ada tiga tantangan dalam mencapai target 4,38 juta hektar. "Pertama soal pengakuan dan eksistensi hak masyarakat hukum adat, kedua pengakuan terhadap wilayah hutan adat, dan ketiga terkait pemberdayaan hutan adat," ujarnya.
Untuk persoalan pertama dan kedua, Bambang mengakui banyak peta wilayah hutan adat yang sudah selesai. Namun ternyata, ujarnya, masih belum mendapat surat penetapan dari pemerintah daerah setempat. "Untuk itu kami ajak perwakilan dari daerah untuk hadir di sini (Rakornas), tak hanya untuk penetapan, namun juga untuk memikirkan bagaimana hutan adat tetap diberdayakan," ujarnya.