Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

KSPI Tolak Keras Rencana Sistem Upah per Jam, Ini Sebabnya

Penerapan sistem upah per jam, menurut Presiden KSPI Said Iqbal, bisa membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum.

27 Desember 2019 | 18.13 WIB

Karyawan PT Ungaran Sari Garmen di Semarang, Jawa Tengah, sedang menjahit pakaian yang dipesan oleh merek terkenal.  PT Ungaran Sari Garmen telah bergabung dengan program BetterWork, sebuah kolaborasi antara ILO dan IFC dari Bank Dunia. sumber: TEMPO/Suci Sekar
Perbesar
Karyawan PT Ungaran Sari Garmen di Semarang, Jawa Tengah, sedang menjahit pakaian yang dipesan oleh merek terkenal. PT Ungaran Sari Garmen telah bergabung dengan program BetterWork, sebuah kolaborasi antara ILO dan IFC dari Bank Dunia. sumber: TEMPO/Suci Sekar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Omnibus Law yang secara langsung merevisi Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terutama soal wacana perubahan sistem upah menjadi per jam. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Adapun penerapan sistem upah per jam, menurut Said Iqbal, bisa membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum. "Jika diterapkan, pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh," katanya, dalam siaran pers, Jumat, 27 Desember 2019.

Tak hanya itu, Said Iqbal juga mengkhawatirkan dampak Omnibus Law kluster ketenagakerjaan yang berkenaan dengan pengurangan nilai pesangon, pembebasan tenaga kerja asing buruh kasar, dan jaminan sosial terhadap nasib para buruh. Selain itu juga akan ada penggunaan outsourcing (alih daya) yang masif.

Pemerintah masih membahas draf Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disebut Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Presiden Joko Widodo hari ini memimpin rapat kerja terbatas membahas Omnibus Law di Istana Bogor. Dia menargetkan draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah bisa disampaikan kepada DPR pertengahan Januari 2020.

Presiden menegaskan bahwa dia tidak ingin Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dimanfaatkan untuk menyisipkan pasal-pasal yang tidak relevan. "Tolong dicek, hati-hati betul, jangan sampai dimanfaatkan untuk tumpangan pasal-pasal titipan yang tidak relevan," katanya.

Menteri Ketenagakerjaan atau Menaker Ida Fauziyah sebelumnya menyatakan ketentuan upah per jam akan berlaku bagi pekerja dengan jam kerja 35 jam per minggu. Namun, bagi pekerja dengan jam kerja 40 jam per minggu, Ida menyebut ketentuan pengupahan berlaku seperti biasanya.

“Jam kerja kita kan 40 jam seminggu. Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu, hitungannya per jam. Saya mau sampaikan terkait dengan ini kita sounding pengusaha dan serikat pekerja mereka memahami. Nanti pengaturannya akan kita atur,” kata dia di Istana Bogor, Jumat, 27 Desember 2019.

Ida mengungkapkan ketentuan itu akan dimuat dalam klaster ketenagakerjaan dalam draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Adapun, beberapa pokok bahasan ketenagakerjaan dalam regulasi tersebut antara lain masalah upah minimum dan pesangon karyawan.

ANTARA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus