Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penurunan kinerja ekspor terjadi karena perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama.
Pemerintah akan meningkatkan penjualan produk-produk berteknologi menengah.
Permintaan terhadap produk manufaktur diprediksi tetap lemah.
JAKARTA – Kementerian Perdagangan melaporkan nilai ekspor Indonesia pada periode Januari-November 2023 sebesar US$ 236,41 miliar atau turun 11,83 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 268,12 miliar. Dari jumlah itu, ekspor minyak dan gas bumi turun 0,67 persen, sedangkan ekspor nonmigas merosot 12,47 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khusus di sektor nonmigas, ekspor bahan bakar mineral melorot 21,17 persen menjadi US$ 39,7 miliar, lemak dan minyak hewani/nabati turun 18,72 persen menjadi US$ 26,45 miliar, besi dan baja turun 4,16 persen menjadi US$ 24,42 miliar, serta mesin dan peralatan elektrik turun 0,15 persen menjadi US$ 13,26 miliar. Sebaliknya, ekspor kendaraan dan bagiannya naik 3,11 persen menjadi US$ 10,32 persen.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan penurunan kinerja ini terjadi karena perlambatan ekonomi di banyak negara utama tujuan ekspor, seperti Cina dan Amerika Serikat. Nilai ekspor nonmigas ke Cina pada tahun lalu mencapai US$ 56,57 miliar dan ke Amerika senilai US$ 21,37 miliar.
“Total ekspor nonmigas ke Cina hingga Desember 2023 diperkirakan sebesar US$ 60 miliar. Sedangkan pada tahun ini ditargetkan senilai US$ 65 miliar,” ujar Didi dalam acara pemaparan kinerja Kementerian Perdagangan, kemarin.
Janji Perluasan Pasar
Pekerja menyelesaikan pembuatan AC di pabrik LG di Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, 23 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons turunnya nilai ekspor pada 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan akan terus mendorong perluasan pasar ekspor. Selama ini, ekspor Indonesia masih berkutat di tiga negara tujuan utama, yakni Cina, Amerika Serikat, dan India. “Selain membuat produk ekspor bernilai tambah, kami akan menciptakan pasar baru di negara non-tradisional,” katanya, kemarin.
Menurut Zulkifli, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan kerja sama dengan beberapa negara, seperti Pakistan, Bangladesh, Mesir, Malaysia, dan kawasan Eurasia. Adapun produk unggulan ekspor masih berupa minyak sawit mentah (CPO), batu bara, nikel, dan produk hasil hutan. Ia berharap perluasan kerja sama akan meningkatkan kinerja ekspor pada 2024.
Di samping mendorong perluasan pasar, strategi lain untuk menaikkan nilai ekspor adalah menjual produk bernilai tinggi, seperti produk kimia, besi dan baja, serta peralatan listrik. Pasar produk-produk tersebut masih bagus di negara-negara maju, seperti Amerika dan Korea Selatan. “Kami akan mendorong ekspor produk teknologi menengah karena mereka sudah tidak memproduksi itu, tapi masih dibutuhkan,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan diversifikasi tujuan ekspor ke negara-negara non-tradisional perlu segera dilakukan. Sebab, banyak negara tradisional yang mengalami perlambatan ekonomi. “Pertumbuhan Cina diprediksi melambat dibanding pada 2023,” katanya, kemarin.
Menurut dia, pemerintah perlu mencari potensi lain di luar negara tradisional walaupun dari segi ekonomi lebih kecil. “Tapi paling tidak memberikan efek ketahanan,” ujarnya. Selain itu, pemerintah perlu memperluas komoditas ekspor, terutama pada sektor-sektor yang selama ini belum tersentuh, seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Ekspor Manufaktur Rendah
Pekerja tengah menyelesaikan perakitan mobil BMW di PT Gaya Motor Sunter, Jakarta, 6 Juni 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny Sasmita, menuturkan pemerintah perlu meningkatkan ekspor industri pengolahan. Dia menyebutkan aktivitas manufaktur pada akhir 2023 mulai menggeliat, tapi dari sisi ekspor masih belum meningkat signifikan.
Data S&P Global yang dipublikasikan pada 2 Januari lalu menunjukkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia mulai meningkat pada akhir 2023, yang menandakan membaiknya aktivitas manufaktur. Ronny mengatakan data tersebut menjadi pertanda baik bagi sektor manufaktur. “Dimulainya kenaikan gaji pekerja akan meningkatkan permintaan barang-barang manufaktur,” ucapnya.
Meski demikian, Ronny memaparkan ekspor industri pengolahan tahun ini diproyeksikan masih stagnan. Hal itu terjadi karena beberapa alasan, antara lain pelemahan ekonomi global yang menekan permintaan. Faktor lain adalah kalah bersaing oleh negara lain, seperti Cina, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. "Jadi pertumbuhan ekspor masih akan seperti tahun 2023,” ujarnya.
Analisis senada dikatakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Dia bertutur, berbeda dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, PMI manufaktur Indonesia tidak memiliki korelasi yang kuat dengan kinerja ekspor. Penyebabnya adalah rendahnya porsi ekspor produk manufaktur. “Jumlah produk manufaktur nasional yang diekspor hanya 40 persen,” katanya saat dihubungi, kemarin.
Permintaan ekspor terhadap produk manufaktur Indonesia, Shinta memprediksi, tetap lemah. Hampir tidak ada perubahan signifikan sejak tahun lalu. Terlihat pula bahwa produk hasil pengolahan yang bisa diekspor masih sangat terbatas. “Dari semua ekspor produk manufaktur, hanya ekspor kendaraan yang masih tumbuh positif meskipun rendah, kurang dari 5 persen,” ujar Shinta.
Sementara itu, ekspor produk manufaktur unggulan, seperti tekstil dan produk tekstil serta sepatu, justru tumbuh negatif karena permintaan global juga sedang turun. Begitu pula pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri padat karya yang berorientasi ekspor tengah melemah karena biaya tenaga kerja yang semakin mahal.
Pesimistis Menyambut 2024
Zulkifli Hasan sebelumnya mengatakan pemerintah menargetkan nilai ekspor nonmigas Indonesia pada 2024 akan tumbuh sebesar 2,5-4,5 persen. Ia optimistis target tersebut akan tercapai meski harga komoditas masih landai.
Menanggapi pernyataan Zulkifli, Shinta memperkirakan hanya ekspor migas yang bisa memenuhi target pemerintah pada tahun ini. Sedangkan ekspor nonmigas masih akan terseok-seok karena keterbatasan daya saing dan diversifikasi produk serta negara tujuan ekspor yang itu-itu saja.
"Pemerintah harus konsisten memfasilitasi dan memberikan stimulus ekspor secara lengkap serta berkelanjutan. Tidak bisa business as usual seperti yang dilakukan sepanjang 2023,” katanya.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo