Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayi itu bakal segera lahir. Bidannya adalah Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Mereka sedang merancang Undang-Undang tentang Pangan, yang telah dibahas di tingkat panitia kerja, Rabu dua pekan lalu. Keduanya bermufakat membentuk lembaga baru yang khusus mengelola persoalan pangan.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan lembaga baru itu diperlukan untuk menggunting kekusutan birokrasi lintas kementerian. Harapannya, lembaga baru itu cekatan membaca situasi. "Dia memelototi perkembangan pasar komoditas pangan setiap saat." Dari situ, dia memberi rekomendasi kepada presiden. Maka pemerintah bisa mengambil keputusan lebih cepat.
Selama ini, Bayu menambahkan, kebijakan pengelolaan pangan berada di bawah Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Hampir setiap pekan digelar rapat terbatas bidang pangan. Tapi rapat itu hanya memonitor kondisi global, baik pasokan maupun permintaan. Kemudian diambil kebijakan untuk stabilisasi harga dan pasokan.
Masalahnya, kantor Menko Perekonomian tak cuma mengurus pangan. Banyak pekerjaan lain yang harus ditangani. Padahal tantangan sektor pangan nantinya semakin berat karena ketidakpastian iklim, produksi, dan meningkatnya permintaan global. Alhasil, diperlukan unit pemerintahan di bidang pangan yang bersifat permanen untuk mencermati dinamika pasar komoditas secara mendalam, obyektif, dan berkelanjutan.
RUU Pangan yang baru itu merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Rancangan ini, menurut Ketua Komisi Pertanian DPR Muchamad Romahurmuziy, merupakan inisiatif DPR sejak awal 2011. Pembahasannya sudah dimulai dalam sidang pertama pada awal tahun ini. DPR mengusung perubahan konsep yang drastis, yaitu pendirian otoritas pangan yang menaungi peleburan eksekutif di bidang pangan, seperti Dewan Ketahanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, dan Bulog.
Dewan Ketahanan Pangan dibentuk untuk membantu presiden merumuskan kebijakan, mengevaluasi, mengendalikan, dan mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tugasnya meliputi bidang penyediaan, distribusi, cadangan, penganekaragaman pangan, serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Ketua Dewan Pangan adalah presiden dan anggotanya sejumlah menteri, Kepala Badan Pusat Statistik, serta Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Selain Dewan Ketahanan Pangan, masih ada Badan Ketahanan Pangan, yang berada di bawah Menteri Pertanian. Ada pula Bulog, perusahaan negara yang mengurusi komoditas beras, gula, dan kedelai.
DPR menginginkan ketiga lembaga itu lebur menjadi satu dan berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan pengawas. Di sisi lain, lembaga itu memiliki unit untuk mengeksekusi atau melaksanakan keputusan. Pertimbangannya, DPR menilai kedaulatan pangan nasional tidak tertata, dan lalu lintas perdagangan begitu liar. "Karena tidak sinkronnya ketiga lembaga dan regulasi perdagangan."
Usul pembentukan otoritas pangan itu dituangkan melalui empat pasal di dalam draf RUU Pangan. Di antaranya pasal 125 yang menyebutkan, "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.".
Lembaga tersebut, dijelaskan dalam pasal 126, bertugas melaksanakan fungsi pemerintah di bidang pangan. Selanjutnya, menurut pasal 127, lembaga ini dapat mengusulkan kepada presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah, menurut Romahurmuziy, menolak otoritas pangan usulan DPR yang dinilai terlalu super karena mengatur kebijakan di bidang pangan sekaligus mengeksekusinya. Sumber Tempo membisikkan munculnya resistensi dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian atas usulan tersebut.
Alhasil, pembahasan RUU mandek selama beberapa bulan. Memasuki masa sidang ketiga, pada paruh kedua tahun ini, pembahasan berlanjut setelah Ketua Komisi Romahurmuziy mengajukan perpanjangan waktu sidang.
Keberatan pemerintah, Romahurmuziy menambahkan, lebih pada tata kelola hubungan antarlembaga. Intinya, lembaga yang superbody cenderung mengabaikan lembaga lain. Bayangkan bila lembaga ini berwenang mengimpor berbagai komoditas, seperti beras, kedelai, dan gula. "Pasti akan ada ‘gesekan’ dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian," ujarnya.
Bayu menegaskan, peran, fungsi, dan kewenangan lembaga baru akan ditentukan oleh presiden. Setidaknya ada dua pilihan. Pertama, mengkaji, mempelajari informasi, dan merekomendasikan kebijakan. Pelaksanaannya tetap di masing-masing kementerian. Kedua, memiliki wewenang penuh. Konsekuensi dari pilihan kedua: akan banyak fungsi kementerian yang dipangkas. Perombakannya besar, memakan biaya, tapi menguntungkan dari beberapa sisi. "Ini dua hal yang tidak mudah dicari titik keseimbangannya."
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan setuju bila otoritas baru nanti tidak bersifat eksekutor, tapi regulator saja. Badan itu berfungsi memformulasikan kebijakan yang kompleks. Selama ini Kementerian Pertanian berfokus pada urusan produksi, sementara tata niaga di Kementerian Perdagangan. Nah, di badan itulah persoalan lintas kementerian dikoordinasi. Ada kemungkinan Badan Ketahanan Pangan akan melebur. Lembaga ini memberi rekomendasi tentang rencana impor, tapi perizinan dan kuota impor tetap dipegang Kementerian Perdagangan.
Tarik-ulur sengit tak hanya terjadi di pemerintahan, tapi juga di DPR. Komisi VI DPR, yang membawahkan bidang perdagangan, perindustrian, dan BUMN, minta dilibatkan dalam pembahasan RUU Pangan. Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto, menurut Romahurmuziy, melayangkan surat ke Badan Musyawarah DPR, meminta dibentuk panitia kerja bersama. Surat serupa dilayangkan ke pimpinan DPR. Tapi Komisi IV, yang membidangi pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menolak.
Airlangga membenarkan komisinya minta dilibatkan dalam pembahasan RUU Pangan demi sinkronisasi. "Kalau otoritas baru itu bersifat operasional, bagaimana bila tabrakan dengan Bulog?" ujarnya.
Pembentukan otoritas baru, menurut Airlangga, kurang efektif untuk menjawab lemahnya koordinasi antarkementerian. Urusan operasional sebaiknya tidak ditangani pemerintah. Tugas pemerintah, kata dia, sebaiknya terbatas pada persoalan perizinan, peraturan, dan pengawasan.
Pada saat berdebat dengan pemerintah, Menteri Perekonomian Hatta Rajasa sempat meminta Komisi Pertanian sedikit mengendurkan usulan supaya tercapai kesepakatan. Bila tidak, pembahasan terancam tak berlanjut. Alhasil, DPR menurunkan tensi. "Peran Bulog akan diperluas dalam hal fungsi penyangga dan stabilisator komoditas pangan," kata Romahurmuziy.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia, Khudori, sepakat bila birokrasi pangan yang panjang harus dipangkas. Tujuannya supaya masyarakat mendapat pangan sesuai dengan haknya. Selama ini banyak kementerian terlibat mengurus pangan. "Terjadi benturan kepentingan." Ia menyarankan Bulog tetap dipakai sebagai tangan kanan lembaga baru tersebut karena pengalaman dan infrastruktur yang telah dimilikinya.
Anggota Badan Anggaran DPR, Harry Azhar Azis, menuturkan pembentukan lembaga baru biasanya membutuhkan bujet Rp 200-300 miliar. Bila lembaga itu memiliki peran operasional–seperti Bulog—diperlukan dana tambahan untuk melaksanakan kebijakan seperti subsidi dan intervensi pasar.
Panitia Kerja RUU Pangan perlu memastikan lembaga baru nanti tidak menimbulkan birokrasi baru dan biaya tinggi. "Sedang disusun pemindahan sebagian kewenangan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian," kata Romahurmuziy.
Retno Sulistyowati, Eka Utami Aprilia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo