Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Menko Airlangga Sebut Transaksi Elektronik Tak Dikenakan PPN 12 Persen, Lihat Detailnya

PPN 12 persen hanya akan dikenakan pada nilai barang atau jasa yang dibeli dalam transaksi tersebut, bukan pada mekanisme atau sistem pembayaran itu sendiri.

24 Desember 2024 | 18.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2024. TEMPO/Nabiila Azzahra A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa transaksi pembayaran virtual yang menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan e-Money, seperti e-toll, tidak akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen. Hal ini disampaikan untuk memberikan kejelasan terkait aturan pajak yang berlaku pada sistem pembayaran digital.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun PPN 12 persen hanya akan dikenakan pada nilai barang atau jasa yang dibeli dalam transaksi tersebut, bukan pada mekanisme atau sistem pembayaran itu sendiri, sehingga pajak hanya berlaku pada barang yang dibeli, bukan pada cara pembayaran yang digunakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hari ini ramai QRIS. Itu juga tidak dikenakan PPN. Jadi QRIS tidak ada PPN. Sama seperti debit card transaksi yang lain,” ujar Airlangga pada Minggu, 22 Desember 2024, dikutip dari Antara.

Diketahui bahwa PPN resmi akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025.  

Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa QRIS telah digunakan di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Ia menambahkan bahwa jika masyarakat melakukan transaksi menggunakan QRIS, baik di Indonesia maupun di negara-negara yang sudah menerapkan sistem pembayaran virtual ini, mereka tidak akan dikenakan PPN 12 persen.

"Kalau ke sana pun (negara Asia lain) juga pakai QRIS dan tidak ada PPN. Jadi ini kami klarifikasi bahwa payment system tidak dikenakan PPN, karena ini kan transaksi, yang PPN adalah barang," jelas Airlangga.

Hal yang sama berlaku untuk penggunaan e-toll. Airlangga menegaskan bahwa transportasi tidak dikenakan PPN, termasuk untuk tol dan layanan terkait lainnya. "Jadi, yang namanya tol dan kawan-kawannya, e-toll juga tidak ada PPN," tegasnya.

Selain sistem pembayaran, Airlangga juga menjelaskan bahwa PPN tidak diberlakukan untuk bahan pokok. Ia menyebutkan bahwa bahan makanan seperti tepung terigu, minyak goreng Minyakita, dan gula industri akan tetap bebas dari kenaikan PPN.  

Ia juga menambahkan bahwa tarif PPN 12 persen tidak berlaku untuk tarif tol, sektor kesehatan, dan pendidikan, kecuali untuk barang dan jasa tertentu yang termasuk dalam kategori khusus. "Kecuali yang khusus. Yang khusus nanti yang ditentukan," ucapnya.

Selain itu, Airlangga turut menyatakan bahwa kenaikan PPN sebenarnya bukan sebesar 12 persen, melainkan hanya 1 persen, dari yang sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen. Ia mengakui bahwa akan ada dampak terhadap inflasi, namun dampaknya diperkirakan tidak akan terlalu besar dan tidak akan signifikan mempengaruhi perekonomian nasional.

"PPN naik itu 1 persen, dari 11 ke 12, bukan dari nol ke 12. Jadi dari segi kenaikan ini pengaruh inflasi ada, tapi relatif tidak terlalu tinggi," pungkasnya.

Sebelumnya, beredar kabar bahwa transaksi uang elektronik akan dikenakan tarif PPN 12 persen mulai 1 Januari mendatang.  

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menjelaskan bahwa penerapan PPN atas layanan uang elektronik sebenarnya sudah diterapkan sejak diberlakukannya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983.

“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Dwi pada Jumat, 20 Desember 2024, sebagaimana dikutip dari Antara.

UU PPN telah diperbarui melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk dalam kategori yang dibebaskan dari PPN. Dengan demikian, saat PPN naik menjadi 12 persen, tarif tersebut juga akan berlaku untuk transaksi uang elektronik.  

Ketentuan lebih rinci mengenai penerapan PPN terhadap transaksi uang elektronik atau layanan teknologi finansial (fintech) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.  

Layanan yang dikenakan PPN antara lain uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.  

PPN dikenakan pada biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara, seperti biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.  

Aturan yang sama berlaku untuk layanan dompet elektronik, termasuk biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR).  

Namun, nilai uang elektronik itu sendiri, seperti saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.  

Sebagai contoh, jika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut akan dikenakan PPN.  

Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dengan tarif PPN 11 persen, maka PPN yang dikenakan adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.  

Jika tarif PPN 12 persen, PPN yang harus dibayar adalah Rp 120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120.  Namun, jika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus