Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menyebut Indonesia terus menyerukan pentingnya membangun tatanan multilateral yang adil melalui penguatan peran negara-negara berkembang atau global south. Tujuannya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan alias sustainable development goals.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan dalam mencapai sistem perdagangan multilateral harus mencerminkan kepentingan bersama antara negara maju dan berkembang. Multilateral rules-based order, kata dia, perlu dikalibrasi ulang agar memperhatikan kepentingan negara berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahendra juga menyoroti pentingnya pembiayaan berkelanjutan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Dia menyebut pembiayaan berkelanjutan harus didasarkan pada disiplin fiskal dan alokasi sumber daya yang optimal.
“Subsidi yang tidak terkendali untuk mengembangkan teknologi baru yang tidak didukung pasar, selain akan mendistorsi ekonomi global, juga akan berkontribusi pada inflasi dan merusak upaya jangka panjang untuk ekonomi yang lebih hijau." kata Mahendra pada Sabtu, 6 Juli 2024.
Mahendra menyampaikan pidatonya itu saat hadir sebagai pembicara kunci dalam Global Leaders Forum (GLF) UN Trade and Development (UNCTAD) 60th Anniversary di Kantor PBB Jenewa, Switzerland, 12-14 Juni 2024. Pertemuan GLF UNCTAD diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun ke-60 UNCTAD, badan PBB yang mempunyai fokus mendorong kepentingan negara berkembang dalam perdagangan global. Pertemuan dibuka oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dan dihadiri oleh beberapa kepala negara dan pemerintahan seperti Presiden Swiss, Madagaskar, Komoros, PM Timor Leste, dan Wakil Presiden Kosta Rika, serta para menteri dan delegasi dari 152 negara.
Sementara itu, Mahendra menilai pembiayaan berkelanjutan juga memerlukan transisi berharap untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan anggaran pemerintah yang seimbang. Di sisi lain, kata dia, Indonesia juga rentan terhadap perubahan-perubahan yang tidak dapat diprediksi dalam dinamika sistem keuangan internasional.
Indonesia menginginkan ekonomi dengan optimalisasi integrasi vertikal atau peningkatan nilai tambah yang diimbangi dengan rantai pasokan dan permintaan domestik yang semakin kuat. “Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan meningkatkan nilai tambahnya melalui pengembangan industri hilir seperti produk kelapa sawit, petrokimia, nikel menjadi baterai, baja, dan lain-lain,” kata Mahendra.
Pemerintah Indonesia, melalui OJK telah mengembangkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk mendukung transisi ekonomi. TKBI ini mengadopsi Taksonomi ASEAN dengan penyesuaian pada kategorisasi industri. TKBI tidak menggunakan sistem hijau, kuning, dan merah (traffic light), melainkan fokus pada industri hijau dan industri dalam transisi menuju praktik berkelanjutan.
“Penerapan TKBI ini disambut baik oleh industri dan menjadi panduan bagi sektor perbankan. OJK menekankan pentingnya memastikan investasi hijau menghasilkan keuntungan, sehingga menarik minat investor dan mendorong transisi ekonomi yang berkelanjutan" kata Mahendra.
Dalam rangkaian kunjungan kerja ke Switzerland, Mahendra juga berkesempatan untuk melakukan pertemuan bilateral dengan World Intellectual Property Organization (WIPO), badan khusus PBB untuk pengembangan sistem kekayaan intelektual internasional yang berimbang dan mudah diakses, untuk mendiskusikan potensi kerja sama dalam penguatan dan pemanfaatan kekayaan intelektual.
Menutup kunjungan ke Switzerland, Mahendra melakukan pertemuan dengan Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMA) untuk membahas topik terkait pengawasan perbankan, asuransi dan aset kripto.