Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan pemerintah dapat menerapkan kebijakan batasan produksi untuk rokok klembak menyan (KLM) pada rokok biasa atau rokok buatan mesin. Upaya ini bertujuan membedakan perusahaan rokok kecil dan besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebagian besar rokok buatan mesin yang beredar di Indonesia saat ini diproduksi oleh perusahaan besar dan asing," ujar Faisal dalam keterangan tertulis seperti dikutip pada Rabu, 13 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, hingga 2016, batasan produksi tertinggi untuk rokok mesin yang tidak padat karya adalah 2 miliar batang per tahun. Kemudian sejak 2017, batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa adalah 3 miliar batang per tahun.
Aturan ini memungkinkan pabrik dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahun akan masuk golongan I. Sedangkan perusahaan masuk golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.
Faktanya, untuk menghindari membayar cukai tinggi, perusahaan tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual. Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, pelanggaran jenis ini dapat terjadi.
Praktik tersebut memungkinkan perusahaan besar dan asing masuk ke golongan yang lebih rendah dengan tarif cukai yang lebih murah. Padahal, seharusnya perusahaan itu mampu membayar tarif cukai yang tinggi sesuai golongannya. "Selama ini, rokok jenis itu (mesin) harga cukainya rendah sekali,” kata Faisal.
Modus ini bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan. Faisal menegaskan, praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara.
"Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun," ujarnya.
Karena itu, kata Faisal, pembatasan produksi perlu ditinjau untuk mengantisipasi celah bagi perusahaan besar dan asing untuk menikmati tarif cukai murah. "Makanya perlu diawasi dan dilihat celah yang memungkinkan perusahaan bermanuver dalam pembatasan itu. Jadi, kalau misalnya batasan 3 miliar batang, perusahaan-perusahaan besar bisa mengirit produksinya supaya tidak sampai batas pagunya atau batas threshold-nya. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah,” kata dia.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK. 010/2022 menetapkan kelompok tarif cukai yang lebih tinggi (setara dengan sigaret kretek tangan) untuk produk KLM yang diproduksi oleh perusahaan yang produksinya melebihi 4 juta batang. Kebijakan ini bertujuan melindungi perusahaan rokok KLM skala rumahan.
Aturan tersebut, menurut Faisal, dapat mengendalikan konsumsi, mengoptimalkan penerimaan negara, serta membedakan perusahaan besar dan kecil. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah juga secara tidak langsung telah mengkategorikan perusahaan yang memproduksi minimal 4 juta batang rokok KLM per tahun sebagai pabrikan besar. Sementara itu pabrik rokok yang memproduksi di bawah 4 juta tergolong perusahaan kecil atau rumahan.
Baca juga: Sri Mulyani Bahas Krisis Pangan dengan Cina
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini