Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sedang mengembangkan BBM yang diklaim lebih ramah lingkungan, yaitu bahan bakar aviasi ramah lingkungan (sustainable aviation fuel atau SAF) untuk pesawat terbang dan Pertamax Green 95.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membidik keuntungan sebesar Rp12 triliun melalui penjualan dan ekspor SAF.
“Diestimasikan bahwa penjualan SAF secara domestik dan ekspor dapat menciptakan keuntungan lebih dari Rp 12 triliun per tahun,” ujar Luhut, sebagaimana dikutip melalui akun instagram resminya, Kamis, 30 Mei 2024.
Angka tersebut diperoleh dengan menghitung nilai ekonomi melalui kapasitas produksi kilang-kilang biofuel Pertamina.
Pertamina sebagai pemimpin di bidang transisi energi sudah melakukan uji coba statis yang sukses dari SAF untuk digunakan pada mesin jet CFM56-7B.
“Hal ini membuktikan bahwa produk mereka layak digunakan pada pesawat komersial,” kata Luhut.
Selain itu, katanya, pengembangan industri SAF juga akan menjadi pintu masuk investasi kilang biofuel lebih lanjut dari swasta maupun BUMN.
Mengutip data International Air Transport Association (IATA), Luhut mengatakan bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi pasar aviasi terbesar keempat di dunia dalam beberapa dekade ke depan. Dengan asumsi kebutuhan bahan bakar itu mencapai 7.500 ton liter hingga 2030.
Prediksi tersebut lantas menjadi landasan bagi Luhut untuk memimpin Rapat Rancangan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pengembangan Industri Sustainable Aviation Fuel (SAF) di Indonesia.
Luhut mengatakan, seiring meningkatnya aktivitas penerbangan, emisi karbon yang dihasilkan juga akan terus bertambah. Oleh karena itu, intervensi untuk mengurangi emisi karbon menjadi penting.
“Dari berbagai data dan kajian, bisa saya simpulkan bahwa SAF adalah solusi paling efektif untuk mewujudkan masa depan penerbangan yang ramah lingkungan di Indonesia,” kata dia.
Karena itu, lanjutnya, upaya menciptakan bahan bakar aviasi ramah lingkungan (SAF) ini bukan hanya menjadi inovasi semata, melainkan suatu komitmen dalam upaya mengurangi emisi karbon global.
“Saya menargetkan setelah keluarnya peraturan presiden, SAF dapat kami launching payung hukumnya selambatnya pada Bali International Airshow 2024, September mendatang,” kata Luhut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji coba penerbangan Garuda Jakarta-Solo
SAF atau Bioavtur diuji coba pertama kali dalam penerbangan komersial pada 27 Oktober 2023 oleh Garuda Indonesia dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Adi Soemarmo Surakarta.
Menurut laman Pertamina, SAF diinisiasi sejak tahun 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter per hari.
Melalui kolaborasi dengan stakeholder terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia, hingga uji terbang pesawat komersil milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800
Menurut Pertamina, hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional. Hal tersebut merupakan jawaban atas komitmen Pertamina dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dan telah dipergunakan untuk commercial flight.
Berikutnya: Pertamax Green
BBM ramah lingkungan lain yang dibuat Pertamina adalah atau Pertamax Green 95atau Pertamax hijau. Bensin dengan oktan 95 ini sudah mulai dipasarkan di SPBU tertentu dengan harga Rp 13.500 per liter.
Sebelumnya, pemerintah sempat mengonfirmasi tengah melakukan persiapan penyediaan BBM bioetanol untuk mengganti Pertalite atau Pertamax. Salah satunya persiapannya dengan membentuk Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Tujuan pembentukkan satgas itu disebut untuk menyiapkan bahan baku biofuel sebagai pengganti Pertalite atau Pertamax yang akan mulai digunakan pada 2027. Pembentukan Satgas Gula dan Bioetanol ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden RI Jokowi pada 19 April 2024.
Sebanyak 5 persen etanol digunakan sebagai bahan campuran Pertamax Green 95. Etanol itu berasal dari molase atau tetes tebu yang digadang-gadang dapat mendukung kemandirian energi. Dilansir dari laman Kementerian ESDM, sesungguhnya Program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi sudah diproyeksikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sejak 2022 silam.
Dikutip dari Koran Tempo Rabu, 29 Mei 2024 ketersediaan Pertamax hijau baru ada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi hingga April 2024 total sudah ada 65 di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menyediakan bahan bakar Pertamax Green 95.
Juru bicara PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Taufiq Kurniawan mengatakan pihaknya saat ini masih membatasi produksi Pertamax Green 95. Produk ini yakni bioetanol dengan campuran 5 persen etanol dari molase tebu ke dalam Pertamax. Produk tersebut sebenarnya sudah diluncurkan sejak Juni 2023 lalu.
Taufiq memperkirakan konsumsi Pertamax Green 95 bisa mencapai 96 ribu kiloliter per tahun. "Untuk membuat BBM sebanyak itu Pertamina membutuhkan etanol sebanyak 4.800 sampai 5.000 kiloliter per tahun," kata Taufiq dikutip di Koran Tempo.
Pengamat energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan pemakaian Pertamax hijau belum efektif diterapkan untuk ramah lingkungan lantaran masih menggunakan energi fosil.
ANTARA | KORAN TEMPO | DESTY LUTHFIANI