Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan usaha merespon isu pembatasan merek dan penerapan kemasan polos atau plain packaging produk makanan minuman yang saat ini mulai banyak diterapkan sejumlah negara. Direktur Pengembangan Bisnis Indonesia Packaging Federation, Ariana Susanti, menilai perlu adanya kajian mengenai dampak negatif penerapan ini, berkaitan dengan persaingan antar pemilik produk dan konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami rasa, aturan ini tidak lantas menjamin perlindungan konsumen lewat perubahan kemasan dengan kemasan polos.” kata Ariana dalam diskusi di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 24 Juli 2019. Menurut dia, masih banyak aspek dalam penerapan ini yang berpotensi merugikan konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, beberapa negara telah mulai memberlakukan kebijakan kemasan polos pada tahun ini. Thailand misalnya yang mengatur standarisasi kemasan polos untuk produk tembakau. Lalu Singapura yang mewajibkan produk tembakau menggunakan kemasan polos dengan grafis peringatan kesehatan. Kemudian Chile yang memberikan label “tanda stop” untuk makanan yang dianggap memiliki risiko kesehatan.
Di Indonesia, regulasi tentang pembatasan merek dan kemasan polos ini sebenarnya sudah mulai terjadi di Indonesia sejak 2014. Namun, pembatasan baru dilakukan pada produk tembakau, seperti rokok, sehingga gaung dari regulasi ini belum banyak dirasakan banyak orang. Namun baru-baru ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan agar tampilan peringatan terpampang di kemasan tembakau diperbesar hingga 90 persen, dari yang saat ini 40 persen saja.
Di awal 2019, isu ini juga semakin meluas dan mulai menyasar produk konsumsi lain, terutama yang memiliki resiko kesehatan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM misalnya, pada 26 Oktober 2018 lalu, telah menerbitkan aturan label pangan olahan, termasuk di dalamnya mengatur Susu Kental Manis atau SKM.
Aturan ini termuat dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, “Selama ini peraturan label mungkin agak membingungkan karena berada di banyak tempat, hari ini disatukan dalam satu Perka BPOM,” kata Penny Kusumastuti Lukito.
Ariana menyadari, salah satu tujuan dari pembatasan merek maupun penambahan label adalah demi petunjuk kesehatan di sebuah produk. Namun, kata dia, para pelaku industri sangat terbuka dengan ajakan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat. “Tapi kami juga berharap kebijakan pemerintah mampu menjadi solusi jangka panjang, konkrit, dan tepat sasaran,” kata dia.
Dalam catatan Indonesia Packaging Federation, aturan yang dikeluarkan biasanya muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya dalam bentuk perpajakan, peringatan kesehatan bergambar, pembatasan atau larangan label, iklan, serta promosi produk. Federasi menilai hal ini bisa merugikan konsumen, maupun pelaku industri.
Head of Packaging PT Nestle Indonesia, Putut Pramono, mengatakan pembatasan merek dalam industri makanan dan minuman bisa memberi dampak yang bermacam-macam. Kemungkinan, konsumen tidak bisa mendapat informasi yang cukup- dari produk yang mereka gunakan ketika dibungkus dalam kemasan polos. Dari sisi produsen, faktor pembeda dengan kompetitor pun hilang. “Kemasan dan merek bisa dibilang adalah jiwanya produsen,” kata dia.