Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengamat Pertanian: Amran Sulaiman Perlu Meneruskan Kebijakan Plt Mentan Arief Prasetyo

Presiden Jokowi menunjuk kembali Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian.

26 Oktober 2023 | 11.03 WIB

Andi Amran Sulaiman saat dilantik menjadi Menteri Pertanian untuk Sisa Masa Jabatan 2019-2024 oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu 25 Oktober 2023. Amran akan mengisi kursi Menteri Pertanian setelah Syahrul Yasin Limpo (SYL) terjerat kasus di KPK. Amran merupakan eks Mentan periode 2014-2019. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Andi Amran Sulaiman saat dilantik menjadi Menteri Pertanian untuk Sisa Masa Jabatan 2019-2024 oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu 25 Oktober 2023. Amran akan mengisi kursi Menteri Pertanian setelah Syahrul Yasin Limpo (SYL) terjerat kasus di KPK. Amran merupakan eks Mentan periode 2014-2019. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang menunjuk kembali Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian atau Mentan. Menurut Khudori, Amran perlu melanjutkan kebijakan yang telah dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Mentan Arief Prasetyo Adi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Apa yang dilakukan Pak Arief Prasetyo Adi, dalam beberapa hari sepatutnya diteruskan. Yakni mencoba membangun ekosistem yang memungkinkan pembangunan pertanian bisa diorkestrasi dengan menciptakan kolaborasi," ujar Khudori kepada Tempo, Rabu, 25 Oktober 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Seperti diketahui, Amran menjabat sebagai Menteri Pertanian pada Kabinet Kerja periode 2014-2019. Amran menggantikan Syahrul Yasin Limpo yang sedang terjerat kasus dugaan korupsi dan gratifikasi.

Dengan demikian, menurut Khudori, Amran sudah memahami Kementerian Pertanian dengan segenap potensi dan permasalahannya. Sementara di sisa waktu yang hampir setahun, ia menilai tidak bisa berharap banyak kepada Amran. Sebab, sektor pertanian itu multidimensi, multisektor, dan multiaktor. "Tidak bisa Kementan mentang-mentang sendiri," kata dia. 

Karena itu, di sisa waktu sampai 19 Oktober 2024, Khudori menegaskan kunci yang penting untuk Amran perankan adalah bersinergi dan berkolaborasi. Sehingga kebijakan yang dilakukan Arief Prasetyo perlu dilanjutkan. Misalnya, kerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pemanfaatan aset-aset institusi riset.

Khudori mengatakan aset-aset itu tidak termanfaatkan optimal. Pasalnya ketika peneliti beralih menjadi pegawai BRIN, asetnya tidak ikut dibawa. Di sisi lain, infrastruktur riset di BRIN terbatas. 

Selain itu, ia mengungkapkan kebijakan yang juga perlu diteruskan, dikuatkan, dan dipastikan dieksekusi di lapangan adalah langkah quick wins. Quick wins adalah peningkatan produksi beras jadi 35 juta ton pada tahun depan. Sebalumnya, Arief Prasetyo merinci langkah quick wins  dalam 9 tahapan. 

9 langkah tersebut yaitu pendetailan peningkatan produktivitas dari 5,2 ton per hektare menjadi 5,5-5,7 ton per hektare, memastikan asuransi pertanian, pendetailan pemanfaatan alsintan yang sudah ada, pendetailan 26 ribu outlet pupuk subsidi dan komersial, memastikan eksekusi oleh daerah, reward kepada daerah yang berhasil mencapai target, penetapan penanggung jawab wilayah, hingga optimalisasi peran penyuluh.

Khudori menggarisbawahi komoditas padi perlu mendapatkan perhatian serius. Selain karena partisipasi konsumsi semua warga dari Sabang sampai Serui nyaris sempurna 100 persen, dalam beberapa tahun terakhir produksinya konsisten menurun. Produksi padi menurun karena luas panen menurun. Di sisi lain konsumsi terus naik.

Akibatnya, ujar Khudori, surplus produksi per tahun juga terus menurun. Pada 2018, surplus beras mencapai 4,37 juta ton, menurun jadi 2,38 juta ton pada 2019. Kemudian turun lagi menjadi 2,13 juta ton pada 2020, dan tinggal 1,3 juta ton di 2021 dan 2022. Ia menuturkan anomali iklim, degradasi kualitas lahan dan air serta kapasitas petani yang tua membuat kontinuitas produksi menghadapi masalah serius.

Apalagi setidaknya dalam 5 tahun terakhir, menurut Khudori, ada kecenderungan keengganan menanam padi di kalangan petani. Ia menjelaskan, kondisi oni tampak dari dua gejala. Pertama, luas panen padi menurun: dari 11,378 juta ha pada 2018 jadi 10, 549 juta hektare pada 2022. Dalam 5 tahun luas panen turun 829 ribu ha. 

Kedua, luas sawah yang ditanami non-padi juga terus naik: dari 14.994 hektare pada 2019 jadi 18.311 hektare pada 2021. Tanpa banyak disadari, ucap Khudori, di lahan sawah seluas 7,4 juta hektare saat ini telah berkompetisi aneka tanaman pangan. Yang paling utama tentu padi, jagung, kedelai, dan tebu. 

"Mengapa kian banyak petani emoh menanam padi? Dugaan saya karena usaha tani ini tidak lagi menarik dari sisi ekonomi. Ini perlu dipastikan dan dicamkan oleh Pak Mentan baru," ujarnya. 

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus