Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Royalti Progresif Batu Bara Dinaikkan jadi Maksimal 13,5 Persen, Begini Respons Pengusaha

ESDM memutuskan menaikkan batas bawah dan atas tarif royalti progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara.

11 Agustus 2022 | 09.58 WIB

Pekerja memeriksa kualitas batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, 4 Januari 2022. Pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, BUMN beserta anak perusahaan pertambangan untuk mengutamakan kebutuhan batu bara dalam negeri. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Perbesar
Pekerja memeriksa kualitas batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, 4 Januari 2022. Pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, BUMN beserta anak perusahaan pertambangan untuk mengutamakan kebutuhan batu bara dalam negeri. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan menaikkan batas bawah dan atas tarif royalti progresif bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara. Besaran batas bawah dan atas tarif royalti itu kini berkisar dari 4 persen hingga 13,5 persen dari harga jual per ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Keputusan akhir dari hasil revisi Peraturan Pemerintah (PP) 81/2019 itu telah dituangkan dalam rancangan peraturan pemerintah atau RPP. Namun pelaksanaan RPP itu masih menunggu persetujuan oleh Kementerian Keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Revisinya di Kementerian Keuangan, masih menunggu dari sana,” kata Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno, Rabu, 10 Agustus 2022.

Dalam aturan ini diatur tingkatan kalori yang menjadi tolok ukur pengenaan tarif royalti progresif itu diturunkan ke kisaran kurang dari 4.200 Kkal per kilogram (gross air received), 4.200 Kkal per kilogram sampai 5.200 Kkal per kilogram dan lebih dari 5.200 Kkal per kilogram.

“Nanti tarif royalti itu berlaku progresif mengikuti harga batu bara acuan (HBA),” ujar Tri.

Sebelumnya, tarif royalti yang berlaku hanya berkisar 3 persen hingga 7 persen berdasar tingkat kalori batu bara. Rinciannya adalah royalti sebesar 3 persen untuk tingkat kalori kurang dari 4.700 Kkal per kilogram, royalti 5 persen untuk tingkat kalori rentang 4.700 - 5.700 Kkal per kilogram, dan royalti 7 persen kalori lebih dari 5.700 Kkal per kilogram.

Adapun Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya menyatakan pihaknya tengah merampungkan aturan terkait dengan tarif royalti batu bara yang berlaku progresif bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) lewat revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 81 Tahun 2019. Lewat beleid itu, tarif royalti bagi IUP batu bara bakal berlaku progresif mengikuti fluktuasi HBA.

“Royalti yang progresif itu sudah kita usulkan untuk direvisi dalam PP 81, jadi nanti mengikuti perkembangan harga,” kata Arifin saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR pada 9 Agustus 2022.

Selanjutnya: Apa alasan pengusaha mengeluhkan kenaikan royalti progresif batu bara?

Arifin menyebutkan kebijakan itu akan diselesaikan berbarengan dengan komitmen pemerintah untuk segera merampungkan pembentukan badan layanan umum (BLU) batu bara pada tahun ini. Ia berharap dua skema pungutan yang mengacu pada fluktuasi harga di pasar dunia itu dapat ikut mengoptimalkan kebijakan kewajiban pasokan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara untuk industri domestik. “Sudah masuk dalam perencanaan kita,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai kenaikan tarif royalti progresif tersebut akan memberatkan sejumlah perusahaan di masa mendatang.

Sebab, tarif tersebut bakal berlaku dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan momentum harga saat ini masih dinamis mengikuti mekanisme pasar. “Ini kan harga (batu bara) gak bertahan lama, bisa saja dia (harga) akan tertekan. Kalau harga mulai tertekan, tarif yang diterapkan tinggi, itu akan sangat terasa nantinya,” ujarnya ketika dihubungi.

Padahal, menurut Hendra, biaya pokok produksi (BPP) pertambangan batu bara akan terus naik per tahun. Tren tersebut dipicu oleh inflasi dan kondisi makro perekonomian yang ikut menekan margin dari usaha pertambangan emas hitam tersebut di masa mendatang.

“BBM naik terus, ini harus jadi bahan pertimbangan, inflasi segala biaya produksi meningkat, ini harus jadi pertimbangan," tutur Hendra. Sedangkan yang terjadi saat ini, kebetulan saja harga batu bara sedang menanjak, sehingga sejumlah kenaikan biaya bisa tertutupi.

Ia menjelaskan nantinya sejumlah perusahaan bakal menghadapi dilema tersendiri untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan tarif royalti progresif tersebut. Pasalnya, karakteristik perusahaan pemegang IUP relatif beragam dari sisi skala usaha dan cadangan batu bara yang dimiliki.

Hendra mencontohkan, ada perusahaan batu bara skala besar dan menengah. "Ada yang produksinya 30 juta setahun ada yang hanya 300.000 per tahun, cadangannya mungkin lebih dari 30 tahun ada yang hanya 3 tahun," katanya.

BISNIS

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

RR Ariyani

RR Ariyani

Lulus dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro pada tahun 2000. Bergabung dengan Tempo pada tahun 2004. Kini menulis untuk desk ekonomi dan bisnis yang mencakup isu makro ekonomi, finansial, korporasi, sektor riil hingga investasi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus