Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pembukaan keran ekspor pasir laut dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif.
Kebijakan membuka kembali ekspor pasir laut mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Keran ekspor pasir laut kembali dibuka Kementerian Perdagangan setelah 20 tahun dilarang.
NELAYAN Karimun, Kepulauan Riau, kaget kapal sedot pasir tiba-tiba masuk ke perairan tangkap mereka pada akhir Agustus 2024. Beredar kabar bahwa nelayan kapal tersebut hendak mengambil sampel pasir sedimentasi laut atas perintah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para nelayan pun protes kepada para pekerja kapal sedot itu. Pasalnya, sejak awal mereka menolak adanya kegiatan penyedotan pasir atas nama pemanfaatan sedimentasi laut. "Kami tidak tahu sama sekali (pengambilan sampel ini). Tiba-tiba kapal (sedot) masuk, tanpa beri tahu masyarakat khusus nelayan," kata Ketua Pokmaswas Nelayan Lestari Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Meral Barat, Jakar, kepada Tempo dari Batam, Sabtu, 14 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pengambilan sampel pada hari pertama, perusahaan mengajak nelayan bertemu di Hotel Aston Karimun. Di hotel tersebut, Jakar dan nelayan lain tetap menyatakan penolakan terhadap rencana pengambilan sedimentasi laut tersebut.
Adapun keran ekspor pasir laut kembali dibuka oleh Kementerian Perdagangan setelah 20 tahun disetop. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Isy Karim menuturkan Kementerian Perdagangan telah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan ini juga berlandaskan usulan KKP.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Jakar heran aktivitas pengambilan sampel dilakukan sebelum musyawarah dengan masyarakat. Ketika pertemuan dilakukan, perusahaan menyampaikan izin pengambilan sampel hanya satu hari. Tapi, berdasarkan pantauan nelayan, pengerukan pasir terjadi selama 10 hari. Imbasnya, nelayan kesulitan melaut.
Para nelayan sebelumnya sudah menolak kegiatan penyedotan pasir di area mereka menangkap ikan, seperti di perairan Pulau Asam, Karimun Anak dan Tekong Yu, serta Pulau Mudu. Pasalnya, perairan tersebut mayoritas adalah tempat nelayan mencari makan sejak dulu, terutama nelayan yang menangkap ikan menggunakan jaring.
Apalagi, kata Jakar, nelayan punya pengalaman pada 2000-an ketika dilakukan pendalaman alur di lokasi yang sama. Saat itu ratusan nelayan kesulitan menangkap ikan hingga kehilangan mata pencarian.
Ketua Umum Lembaga Swadaya Tempatan Nelayan Perikanan Kepulauan Riau Eko Fitri Andi mengungkapkan total rencana pertambangan pasir laut di Kepulauan Riau seluas 46.759,17 hektare, sedangkan di Batam 2.320,91 hektare dan di Lingga 3.640,90 hektare. Jumlah nelayan yang akan terkena dampak sebanyak 192 ribu.
Eko berujar bahwa pemerintah menjanjikan ada potensi penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 2 triliun untuk Kepulauan Riau. Namun dia khawatir pengawasan terhadap kebijakan ini lemah sehingga akan berdampak fatal terhadap lingkungan hidup. Dia pun berharap ada sistem yang mengatur aduan sehingga nelayan bisa melapor apabila menemukan pelanggaran.
Antara/Teguh Prihatna
Tidak Ada Perusahaan Lokal yang Terlibat
Nardi, seorang pelaku usaha tambang pasir lokal di Kepulauan Riau, mengungkapkan tidak ada satu pun perusahaan lokal yang terlibat dalam pengerukan pasir. Kebanyakan perusahaan asal Jakarta. "Tapi pengerukannya melibatkan orang-orang daerah atau putra-putra daerah tertentu, tapi bukan sebagai direktur, hanya koordinasi di lapangan," katanya.
Menurut Nardi, pengusaha lokal kebanyakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sehingga sulit mengajukan izin pemanfaatan sedimentasi laut. KKP belum membuka akses untuk perusahaan pemegang IUP. Karena itu, dia berharap KKP membuka akses pengurusan pengelolaan kelautan dan ruang laut serta izin pemanfaatan pasir laut kepada pengusaha lokal.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karimun Faizal membenarkan adanya pengambilan sampel oleh KKP tersebut. "Pada prinsipnya, kami, pemda, tidak menolak investasi, tapi kami tidak menutup mata juga agar nelayan kita diperhatikan," katanya.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto mengatakan izin ekspor pasir laut telah dibuka setelah Kementerian Perdagangan merevisi larangan perdagangan komoditas tersebut. Dia mengatakan saat ini telah ada 66 perusahaan yang antre menunggu izin itu. Namun ia tak membeberkan nama dan asal perusahaan tersebut.
Doni mengklaim ekspor pasir laut hanya akan dilakukan jika kebutuhan material pasir laut dalam negeri sudah terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi reklamasi, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah, dan pembangunan sarana-prasarana oleh pelaku usaha. Ia mengklaim masih banyak hasil sedimentasi yang potensial untuk diekspor.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sudah menetapkan tujuh lokasi pembersihan hasil sedimentasi pasir laut, yakni Demak, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Selat Makassar, yaitu di perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan; serta Laut Natuna-Natuna Utara, yaitu perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Regulasi Ekspor Pasir Laut dan Data Impor
Pulau Kecil Terancam Tenggelam
Kebijakan ini mendapat kritik keras dari sejumlah pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menilai pemerintah tak belajar dari pengalaman. Indonesia sebelumnya melarang ekspor pasir laut lewat Surat Keputusan Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Dalam SK itu disebutkan alasan pelarangan ekspor adalah mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. Kerusakan lingkungan yang dimaksudkan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir.
Regulasi Ekspor Pasir Laut dan Data Impor
Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan selama ini sudah ada tujuh pulau yang tenggelam di kawasan Jakarta. Musababnya, terjadi penambangan pasir untuk kepentingan reklamasi di Yogyakarta. Juga ditambah, pada saat yang sama, terjadi kenaikan air laut dengan tren yang sangat cepat, yaitu 0,8-1 meter.
Tanpa pertambangan pasir laut saja, tutur dia, pulau-pulau kecil di Indonesia sudah terancam tenggelam sehingga kebijakan ekspor pasir laut berpotensi mempercepat tenggelamnya pulau-pulau ini. Parid menegaskan, pemanfaatan ekspor pasir laut untuk reklamasi ini sangat berbahaya karena terbukti menghancurkan ekosistem laut dan merusak kehidupan nelayan.
Terlebih, menurut Parid, reklamasi di Indonesia lebih banyak dibangun untuk kepentingan bisnis. Walhi mencatat ada lebih dari 3,5 juta hektare proyek reklamasi hingga 2040. Angka itu didasarkan pada analisis Walhi terhadap dokumen tata ruang laut di 28 provinsi. "Sisanya, masih ada provinsi lain yang belum mengesahkan tata ruang laut. Artinya, ada lebih luas lagi reklamasinya, hampir 4 juta hektare," ujarnya.
Regulasi Ekspor Pasir Laut dan Data Impor
Siapa yang Paling Diuntungkan?
Ahli ekologi dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan, Romi Hermawan, mengatakan potensi keuntungan dari bisnis ekspor pasir laut sangat besar, sehingga pemerintah gencar mendorong ekspor komoditas tersebut. Ia memperkirakan Singapura menjadi yang paling diuntungkan dari proyek ini.
Romi berujar, Singapura sedang membuat megaproyek pelabuhan paling besar di Asia yang ditargetkan rampung pada 2040. Megaproyek yang tengah digarap Singapura ini mencapai 65 juta twenty-foot equivalent unit (TEUs), dari sebelumnya hanya 50 juta TEUs. TEUs adalah satuan peti kemas berukuran 20 kaki.
Dalam laporan majalah Tempo berjudul "Seberapa Besar Bisnis Ekspor Pasir Laut", Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia Yusri Usman membeberkan harga pasir laut impor Singapura. Nilai kontrak antara pemasok pasir di Johor Baru, Malaysia, dan Jurong Town Corporation yang mengawasi kegiatan reklamasi Singapura mencapai S$ 15 atau sekitar Rp 165.845 per kubik. Sedangkan pasir Vietnam dihargai S$ 38 atau sekitar Rp 420.142 per kubik.
Yusri menilai Singapura akan memprioritaskan pasir dari Kepulauan Riau. Selain lokasinya paling dekat, menurut dia, kualitas pasir lautnya berani diadu. Karena itu, dia berharap pemerintah mengatur sistem jual-beli yang bisa memastikan Indonesia mendapatkan harga terbaik dari Singapura.
Adapun menurut perhitungan Asosiasi Pengusaha Pasir Laut, Singapura membutuhkan 4 miliar kubik pasir laut untuk mereklamasi sejumlah proyek daratannya hingga 2030. Apabila Indonesia bisa menyuplai separuh saja dari kebutuhan itu dengan harga S$ 8, ada potensi devisa S$ 32 miliar atau sekitar Rp 354 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Muhammad Faisal mewanti-wanti bahaya yang ditimbulkan dari kebijakan ini. Menurut dia, langkah ini juga kontradiktif dengan rencana presiden terpilih Prabowo Subianto yang ingin membangun tanggul laut raksasa atau giant sea wall untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut.
Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berpandangan bahwa pembukaan kembali izin ekspor pasir laut di ujung masa pemerintahan Joko Widodo makin mengindikasikan kebijakan ini penuh misteri dan rawan masalah.
Achmad menilai pemerintah tampaknya sedang mencari jalan keluar untuk mendongkrak pendapatan di tengah keterbatasan waktu yang tersisa. Namun langkah ini berpotensi merusak reputasi pemerintah soal lemahnya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan penerapan prinsip pemerintahan yang baik. "Dengan waktu yang begitu singkat, muncul pertanyaan mengenai urgensi di balik kebijakan ini dan siapa yang diuntungkan," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yogi Eka Sahputra dan Khairul Anam berkontribusi dalam artikel ini