Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua tahun berlalu, pengganti Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak tak kunjung muncul. Padahal pemerintah menggodok revisi aturan ini untuk memastikan penyaluran subsidi BBM.
Dari alokasi kompensasi Pertalite sebesar Rp 93,5 triliun, sebanyak Rp 80,4 triliun dinikmati oleh rumah tangga. Dari total rumah tangga tersebut, sebanyak 80 persen merupakan rumah tangga mampu.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talatov, pun menyebutkan pemerintah melewatkan kesempatan untuk mentransformasi penyaluran BBM subsidi saat harga minyak dunia turun pada 2016.
DUA tahun berlalu, pengganti Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak tak kunjung muncul. Padahal pemerintah menggodok revisi aturan ini untuk memastikan penyaluran subsidi BBM lebih tepat sasaran. Salah satunya dengan mengatur masyarakat yang berhak mengkonsumsi komoditas tersebut.
Pemerintah berencana merinci konsumen yang berhak menerima BBM subsidi, dalam hal ini solar. Pasalnya ketentuan dalam aturan yang ada sekarang belum spesifik. Solar subsidi saat ini diatur untuk rumah tangga, usaha mikro, usaha pertanian, usaha perikanan, dan transportasi. Solar juga boleh digunakan untuk kebutuhan pelayanan umum, antara lain untuk energi di tempat ibadah dan krematorium.
Selain itu, pemerintah bakal mengatur masyarakat yang berhak menikmati jenis bahan bakar khusus penugasan atau Pertalite. Pemerintah menjaga harga jenis BBM dengan RON 90 ini di bawah nilai keekonomiannya untuk menyediakan bahan bakar murah. Pemerintah membayar kompensasi untuk menutup selisih harga tersebut kepada PT Pertamina (Persero) sebagai produsen.
Tujuan kehadiran bahan bakar penugasan ini sama dengan subsidi, yaitu membantu masyarakat tak mampu. Lantaran tak diatur kategori konsumennya dalam Perpres Nomor 191, Pertalite akhirnya bisa diakses semua kendaraan bermotor. Kondisi ini membuat mereka yang berhak, seperti nelayan dan petani, makin kesulitan mendapatkan haknya.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, pembahasan soal konsumen solar dan Pertalite yang berjalan sejak 2022 itu sudah rampung di kantornya. Sinkronisasi di tingkat kementerian koordinator pun telah selesai. "Sekarang lagi proses oleh Bapak Presiden," ujar Dadan di kantornya, Jumat, 26 Juli 2024.
Dadan menyebutkan keputusan mengubah ketentuan penyaluran solar dan Pertalite ini tak mudah sehingga penerbitan revisi aturan tersebut butuh waktu. Dia menuturkan ada potensi perubahan ketentuan bakal terbit dalam bentuk peraturan menteri sebagai gantinya. "Supaya implementasinya lebih cepat," katanya. Dia menyebutkan kemungkinan tak banyak substansi yang berubah dalam rancangan aturan soal konsumen solar dan Pertalite dengan yang dirancang dalam naskah revisi Perpres Nomor 191 nantinya.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), yang juga terlibat dalam pembahasan revisi Perpres Nomor 191, menyebutkan pemerintah bakal mengatur konsumen solar bersubsidi dan Pertalite berdasarkan jenis kendaraan. Pertalite, misalnya, akan dibatasi untuk kendaraan pelat hitam dengan mesin di bawah 2.000 cc. Sementara itu, solar bakal dilarang buat kendaraan pelat hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Rencana untuk mengubah Perpres Nomor 191 muncul akibat realisasi belanja negara untuk kompensasi BBM serta subsidi energi, yang terdiri atas BBM, elpiji, serta listrik, terus meningkat. Di sisi lain, anggaran tersebut tak sampai ke tangan yang tepat.
Badan Pusat Statistik merilis data Survei Sosial-Ekonomi Nasional pada 2022 yang menunjukkan bantuan negara tidak tepat sasaran. Pertalite, misalnya, justru dinikmati masyarakat mampu. Dari alokasi kompensasi Pertalite sebesar Rp 93,5 triliun, sebanyak Rp 80,4 triliun dinikmati oleh rumah tangga. Dari total rumah tangga tersebut, sebanyak 80 persen merupakan rumah tangga mampu.
Pada tahun yang sama, pemerintah mencatat anggaran subsidi energi dan kompensasi BBM mencapai Rp 551 triliun. Nilai ini paling tinggi setidaknya selama Presiden Joko Widodo memimpin.
Sebagai perbandingan, saat Jokowi pertama kali menjabat pada 2014, nilai subsidi energi dan kompensasi BBM sebesar Rp 341 triliun. Nilainya kemudian turun drastis ke kisaran Rp 100 triliun pada 2015-2017. Saat itu harga minyak mentah dunia sedang anjlok. Pada periode tersebut juga pemerintah memutuskan untuk menghapus Premium yang berstatus bahan bakar penugasan secara bertahap, dimulai dari Jawa.
Pada saat yang sama, Pertamina mengeluarkan produk Pertalite dengan RON 90 dan harga yang lebih tinggi. Pada 2022, pemerintah menetapkan Pertalite sebagai bahan bakar khusus penugasan dan membayar kompensasi penuh atas selisih harga keekonomian serta harga ecerannya yang ditetapkan sebesar Rp 7.650 per liter saat itu.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyebutkan langkah Jokowi memangkas subsidi energi sempat membawa harapan. "Dengan modal penurunan harga energi primer itu, dia bisa mereformasi penyaluran BBM. Tapi ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi," ujarnya.
Pada 2018, Fabby mengingat muncul desakan untuk mengembalikan Premium ke pasaran. Antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum membuat Presiden memerintahkan Premium kembali hadir di Jawa. Kebijakan ini, menurut dia, tak perlu ada lantaran selama tiga tahun terakhir pemerintah bisa menghemat ongkos subsidi dan kompensasi BBM. "Tapi Jokowi menggunakan anggaran publik itu untuk mempertahankan popularitasnya," kata Fabby. Pasalnya, pada 2019, ia maju kembali dalam pemilihan presiden.
Fabby mengatakan harga BBM murah punya dampak pada tingkat kepuasan masyarakat. Tapi implikasinya adalah beban negara yang makin berat untuk mensubsidi dan membayar kompensasi BBM yang tidak tepat sasaran. Belum lagi pemerintah dianggap "membakar uang" untuk bahan bakar yang berbahaya buat kesehatan. Dia mencatat solar dan Pertalite memiliki tingkat sulfur tinggi, melebihi batas standar Euro 4 yang maksimal hanya 50 ppm.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talatov, pun menyebutkan pemerintah melewatkan kesempatan untuk mentransformasi penyaluran BBM bersubsidi saat harga minyak dunia turun pada 2016. "Itu salah satu golden moment yang semestinya dimanfaatkan untuk merevisi kriteria penerima BBM subsidi," katanya. Pasalnya harga minyak mentah bergerak naik pada 2019. Ditambah agenda pemilihan umum, kebijakan untuk membatasi bantuan sosial disebut tidak populer.
Momentum lain yang terlewatkan adalah pandemi. Pemerintah seharusnya bisa mengubah ketentuan soal BBM bersubsidi dan kompensasi ketika permintaan bahan bakar landai akibat pembatasan sosial.
Lantaran tak ada perubahan, Abra menyoroti beratnya beban pemerintah saat harga minyak dunia naik. Perubahan harga ini bakal memperlebar selisih harga BBM bersubsidi dengan keekonomiannya sehingga anggaran belanja negara bakal meningkat.
Makin jauh jaraknya, makin banyak orang yang tergoda beralih ke BBM bersubsidi. Dia mengingatkan, setiap tahun kuota solar dan Pertalite terus naik karena kebocoran subsidi, baik karena penumpukan maupun penyimpangan penikmat BBM bersubsidi serta kompensasi.
Abra mencatat rata-rata konsumsi BBM bersubsidi naik 7 persen selama periode 2017-2021. Sementara itu, konsumsi BBM nonsubsidi turun 13 persen. "Artinya, dalam kondisi normal saja, terjadi peralihan yang cukup besar di gasolin," katanya.
Kebijakan ini bakal berdampak pada keuangan Pertamina yang pendapatannya mayoritas di sektor hilir. Saat ruang fiskal pemerintah terbatas, perusahaan pelat merah itu bakal terganggu. Risiko pembayaran ditunda dan keterbatasan ruang fiskal menjadi risiko yang harus diserap badan usaha. "Pemerintah sebaiknya memitigasi risiko ke depan, salah satunya dengan mempercepat transformasi subsidi BBM targeted," kata Abra.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Eddy Soeparno mengatakan tak mudah menyelesaikan warisan masalah subsidi, bahkan dalam dua periode kepemimpinan seorang kepala negara. Setidaknya, beberapa tahun terakhir ini, pemerintah sudah mengakui penyaluran BBM subsidi tak tepat sasaran dan berupaya berbenah. "Kita sudah bisa melakukan pendataan dan penataan terhadap mana yang bisa terima subsidi atau tidak," katanya.
Pengendara sepeda motor menunjukan aplikasi MyPertamina dekat antrean BBM Pertalite di SPBU Pertamina Jalan RE Martadinata, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia
Pendataan yang ia maksudkan adalah pencatatan konsumen Pertamina lewat aplikasi MyPertamina. Perusahaan mengumpulkan informasi konsumen solar dan perlahan memperluasnya ke Pertalite. Dengan skema ini, Pertamina setidaknya bisa memantau penjualan solar bersubsidi. Idealnya memang subsidi dilakukan tertutup alias diberikan langsung kepada mereka yang berhak. "Tapi setidaknya sekarang volume subsidi sudah bisa dikontrol," ujarnya.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Cahyono Adi memastikan Pertamina sudah siap mendata pengguna solar. Sistem mereka juga sanggup mendata penikmat Pertalite. "Saat pemerintah sudah menentukan daftar penerima manfaat, sistem mereka sudah siap," tuturnya. Data inilah yang akan menjadi basis pemerintah mengontrol penyaluran solar dan Pertalite ke depan.
Agus mengatakan tak mudah menentukan konsumen yang berhak menerima bantuan dari negara. Dia mencontohkan dilema pemerintah yang ingin memberikan subsidi kepada pengemudi transportasi online. Namun mereka menggunakan pelat nomor berwarna hitam atau tak masuk kategori kendaraan publik.
Selain bicara subyeknya, pemerintah harus mempertimbangkan dampak ikutan dari transformasi penyaluran BBM. Itu sebabnya tak semua momentum bisa langsung dimanfaatkan pemerintah untuk mengubah ketentuan soal BBM bersubsidi.
Tapi, selama 10 tahun terakhir ini, Agus menegaskan pemerintah tak berdiam diri membiarkan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Pemerintah memulai dengan mengurangi Premium, menyiapkan alternatif bahan bakar minyak menggunakan gas dan energi terbarukan, memanfaatkan sistem Pertamina untuk pendataan, serta merancang ketentuan konsumen BBM bersubsidi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Hariyadi dari Makassar dan Hanaa Septhiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini