Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden terpilih Prabowo Subianto menghadapi target penerimaan perpajakan Rp 2.490,9 triliun pada 2025 atau meningkat 12,23 persen dibandingkan penerimaan tahun ini.
Analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia, Ajib Hamdani, menyebutkan target pemerintah tahun depan cukup menantang di tengah kondisi industri yang melambat dan daya beli masyarakat yang melemah.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan pemerintah berharap ada kenaikan setoran PPh badan untuk mencapai target penerimaan pajak 2025.
PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto menghadapi target penerimaan perpajakan Rp 2.490,9 triliun pada 2025 atau meningkat 12,23 persen dibanding tahun ini yang sebesar Rp 2.218,4 triliun. Lonjakan target setoran pajak tersebut dinilai menantang lantaran melemahnya daya beli masyarakat dan kondisi industri yang lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Target tersebut bakal ditopang penerimaan pajak dengan target Rp 2.189,3 triliun, naik sekitar 10 persen dari tahun ini. Pajak penghasilan (PPh) berkontribusi paling besar, yaitu Rp 1.209,3 triliun. Target setoran PPh naik 13 persen dari tahun ini yang sebesar Rp 1.062,3 triliun. Selain itu, pemerintah mengandalkan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang dibidik bisa menyumbang Rp 945,1 triliun atau naik sekitar 15 persen dari tahun ini yang sebesar Rp 819,2 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan pemerintah berharap ada kenaikan setoran PPh badan untuk mencapai target penerimaan pajak 2025. "Kami berharap tahun depan harga komoditas meningkat," ujarnya pada Selasa, 20 Agustus 2024. Rencana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 diharapkan menggenjot setoran ke kas negara.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar yakin kenaikan PPN sebesar 1 persen bisa berkontribusi signifikan terhadap penerimaan PPN dan PPnBM, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5,2 persen pada tahun depan.
Namun ia pesimistis melihat ambisi penerimaan dari PPh yang bergantung pada PPh badan. Pada semester I 2024 saja, penerimaan perpajakan turun 7,9 persen secara tahunan lantaran setoran PPh badan anjlok 34,5 persen. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, keuntungan perusahaan, khususnya yang berbasis komoditas, menurun tajam setelah harga komoditas terkoreksi.
Meski begitu, Fajry menilai pemerintah masih punya ruang untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. "Saya kira pemerintah bisa mengoptimalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," katanya. Meski undang-undang itu terbit pada 2021, sejumlah ketentuan turunannya baru terbit dalam setahun belakangan. Sisanya, dari ketentuan soal pencegahan penghindaran pajak hingga pajak atas ekonomi digital, masih belum terbit.
Manager Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Badiul Hadi mengatakan pajak atas ekonomi digital bisa menjadi peluang pemerintah merealisasi target penerimaan pajak yang terlalu optimistis tahun depan. Target tersebut dinilai sangat optimistis lantaran kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian. "Pemerintah bisa memperluas basis pajak melalui transaksi elektronik, seperti e-commerce dan layanan digital, yang trennya masih positif," ujarnya
Perluasan basis pajak juga bisa menyentuh sektor sumber daya alam. Selama ini pemerintah banyak memberikan keringanan fiskal untuk mendorong investasi di sektor tersebut. Menurut Badiul, penting buat pemerintahan baru mengkaji efektivitas beragam insentif fiskal ini. Potensi lain adalah penerapan pajak karbon yang, selain bisa menambah penerimaan, membantu pencapaian target pengurangan emisi Indonesia.
Selain itu, dia menilai pemerintah perlu lebih tegas dalam penegakan hukum, khususnya terhadap mereka yang menghindari pajak. "Banyak pengemplang pajak yang notabene orang-orang kaya dan potensinya sangat besar yang bisa dioptimalkan negara," tuturnya.
Badiul mengingatkan, hal yang terpenting adalah memastikan setiap upaya penambahan penerimaan perpajakan tak membebani masyarakat. "Terutama masyarakat kelas menengah ke bawah," katanya. Pengenaan pajak baru terhadap golongan masyarakat tersebut menandakan asas keadilan tak berjalan serta mengancam daya beli mereka.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemaparan Pajak pada konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024 di Jakarta, 13 Agustus 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, menyebutkan ancaman terhadap kemampuan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah ini salah satunya datang dari keputusan pemerintah menaikkan PPN. Dia mengingatkan soal risiko masyarakat menahan belanja. Selain mengurangi konsumsi rumah tangga, industri akan terkena dampak penurunan permintaan dari pasar.
Padahal kondisi industri sudah mengirim sinyal pelemahan. Industri pengolahan, misalnya, hingga kuartal kedua tahun ini hanya tumbuh 3,95 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Sektor perdagangan juga sedang melambat akibat kenaikan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Karena itu, Abdul menilai target penerimaan pajak bakal sulit tercapai pada tahun depan. "Padahal pemerintahan baru sudah menetapkan program yang menyedot anggaran besar," ujarnya. Namun dia melihat masih ada peluang kenaikan penerimaan jika harga minyak mentah dunia bergerak sesuai dengan asumsi pemerintah. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 82 per barel.
Analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia, Ajib Hamdani, juga menyebutkan target pemerintah tahun depan cukup menantang di tengah kondisi industri yang melambat dan daya beli masyarakat yang menurun. Sama seperti Abdul, Ajib mengatakan kedua risiko itu timbul, antara lain, akibat kenaikan tarif PPN, meskipun dari sisi penerimaan angkanya cukup besar. "Kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen akan memberikan kontribusi penerimaan tambahan tidak kurang dari Rp 80 triliun pada 2025," katanya. Angka itu muncul dari perhitungan asumsi pendapatan dari PPN dan PPnBM 2023 serta pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada 2024 dan 2025.
Ajib merujuk pada penurunan tren daya beli berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Bank Mandiri. Data tersebut menunjukkan daya beli kelas menengah turun dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,44 persen pada 2023. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Tanah Air mengalami turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023.
Ajib mengingatkan, lebih dari 60 persen produk domestik bruto Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga. "Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani kebijakan fiskal yang kontraproduktif, target pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif akan menghadapi kendala," ujarnya.
Presiden Joko Widodo menyampaikan target penerimaan perpajakan tahun depan bakal dicapai dengan melanjutkan reformasi perpajakan. "Reformasi ini mencakup perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak, perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan, serta pemberian insentif perpajakan yang terarah dan terukur," katanya dalam pidato di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo