Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

The Prakarsa soal Defisit BPJS Kesehatan: Masalah Lama yang Butuh Terobosan Baru

Peneliti The Prakarsa mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan terobosan baru dalam menyiasati kemungkinan BPJS Kesehatan alami gagal bayar.

3 Desember 2024 | 10.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti kebijakan sosial The Prakarsa, Victoria Fanggidae, mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan terobosan baru dalam menyiasati kemungkinan gagal bayar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pada dua tahun mendatang. Ia menilai, kebaruan dalam mengambil kebijakan mampu menjadi solusi dari kondisi yang tidak lagi baru bagi BPJS Kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyatakan, perkara defisit bahkan telah dihadapi badan tersebut satu tahun setelah beroperasi, yakni pada 2015 dengan jumlah defisit mencapai Rp 9,4 triliun. “Hanya membaik setahun, pada tahun 2017 defisit terjadi lagi tiga kali lipat dari 2016, dan terus terjadi tanpa henti sampai pandemi Covid-19, saat utilisasi rendah karena berbagai pembatasan dan akses masyarakat ke fasilitas kesehatan dibatasi,” kata Victoria dalam siaran resminya, dikutip Senin, 2 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan riset The Prakarsa, terdapat beberapa faktor penyebab kemungkinan gagal bayar BPJS Kesehatan. di antaranya inflasi kesehatan di Indonesia yang naik signifikan dalam dua tiga tahun terakhir ini, tingginya utilisasi fasilitas kesehatan khususnya pasca pandemi Covid-19, dan besarnya jumlah peserta tidak aktif yang hanya mendaftar dan membayar saat memakai, namun tidak melanjutkan penyetoran rutin sehingga klaim manfaat membengkak.

Lembaga riset dan advokasi itu menyebut perkiraan defisit BPJS Kesehatan dapat mencapai Rp 20 triliun. Hal ini diakibatkan jumlah klaim yang melonjak pesat dari tahun-tahun sebelumnya.  

Untuk tahun ini sendiri, berdasarkan rencana kerja anggaran BPJS Kesehatan 2024, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan berisiko mengalami defisit Rp 16 triliun. Badan ini memperkirakan pendapatan sepanjang 2024 hanya Rp 160 triliun, sedangkan pengeluarannya mencapai Rp 176 triliun.

Dengan demikian, terobosan pertama yang diusulkan adalah penyesuaian nominal iuran berdasarkan perhitungan aktuaria sebesar 15 sampai 18 persen. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan secara berkala setiap dua tahun sekali karena besaran iuran sudah berada di bawah kecukupan aktuarial sebagai asuransi sejak peluncurannya pada 2014.

Kedua, meningkatkan jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan mendorong perusahaan dan peserta mandiri dalam mendaftarkan diri. Selain itu, pemerintah perlu menegakkan sanksi serius bagi yang tidak membayar iuran secara teratur.

Ketiga, mengeksplorasi sumber pendanaan lain. Misalnya, dari corporate social responsibility, cukai rokok, cukai kendaraan bermotor roda empat atau lebih, juga cukai makanan dan minuman berpemanis.

Ketiga usulan tersebut merupakan kombinasi antara kebijakan kenaikan iuran dan alternatif pendanaan melalui ekstensifikasi barang kena cukai misalnya. Victoria menilai langkah-langkah tersebut dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan defisit pembiayaan JKN.

Victoria berpandangan pemerintah perlu melindungi hak seluruh masyarakat untuk merasakan manfaat dari JKN. “Karena itu, pemerintah harus serius dalam mencari cara-cara terobosan, yang bisa merupakan kombinasi beberapa cara yang berbeda, untuk menyelamatkan JKN dari kebangkrutan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 204 tentang SJSN,” kata dia.

Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus