Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berapa Upah Minimum Provinsi yang Ideal Menurut Buruh dan Pengusaha

Buruh dan pengusaha silang pendapat soal formula penghitungan upah minimum. Pemerintah menunda penetapan upah minimum 2025.

28 November 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menargetkan regulasi UMP pada akhir November atau Desember 2024.

  • Apindo berharap penetapan UMP mengikuti ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 atau sebelum ada putusan MK.

  • Serikat buruh menilai formula upah dalam PP 51/2023 merugikan karena kenaikan riilnya kecil.

SUDAH sepekan pemerintah menunda penetapan upah minimum 2025. Semestinya Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) pada Kamis, 21 November 2024, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan kementeriannya masih menunggu arahan Presiden Prabowo Subianto ihwal formula upah minimum ini.

Pembahasan upah minimum berlangsung alot setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 itu membuat pemerintah harus menyesuaikan regulasi soal penghitungan upah minimum dari yang sebelumnya diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 25 November 2024, Prabowo memanggil Yassierli ke Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk membahas rumusan upah minimum. Namun Yassierli melaporkan keputusan ihwal UMP belum final karena masih mempertimbangkan berbagai variabel, termasuk inflasi.

“Biarkan dulu kami merumuskan sesuai dengan arahan beliau. Sesudah itu nanti kami akan menghadap beliau untuk terakhir kalinya," ujarnya. Setelah bertemu kembali dengan Prabowo, Yassierli akan mengedarkan peraturan Menteri Ketenagakerjaan kepada para gubernur.

Meski formula UMP 2025 belum diputuskan, Yassierli menekankan pemerintah akan mematuhi dan melaksanakan putusan MK. Guru besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung itu menargetkan pengumuman rumusan UMP pada akhir November atau Desember 2024. 

Adapun keputusan MK membatalkan sejumlah norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja mengenai pengupahan. Putusan itu mengamanatkan penetapan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Penghitungan upah minimum juga harus mengikuti prinsip kebutuhan hidup layak (KHL).

Adapun indeks tertentu yang disimbolkan dengan alfa merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota. Simbol alfa adalah variabel yang berada di rentang nilai 0,10 sampai 0,3. Dalam putusan MK, istilah "indeks tertentu" dianggap inkonstitusional. Dengan demikian, upah di atas upah minimum juga harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di perusahaan. 

Penetapan UMP berdasarkan putusan MK disayangkan kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo berharap penetapan UMP masih tetap mengikuti ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kanan) usai mengikuti rapat yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 25 November 2024. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan perubahan skema penghitungan upah minimum akan memberatkan dunia usaha. Menurut dia, penetapan kebijakan upah minimum yang ideal harus mengakomodasi semua pemangku kepentingan di dunia usaha, yaitu pelaku industri, buruh, dan pencari kerja. Karena itu, ia menyarankan agar UMP ditetapkan secara bipartit, yaitu lewat kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. 

Untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja, Apindo pun mengusulkan penerapan kebijakan penetapan upah yang fleksibel dan berbasis produktivitas. "Dengan begitu, daya saing sektor usaha dapat tetap terjaga," ujar Shinta. Langkah itu juga diyakini dapat menjaga permintaan pasar terhadap produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun ekspor, meningkat.

Menurut Shinta, jika mengikuti prinsip KHL, penghitungan UMP dapat menimbulkan kerumitan di semua daerah. Pasalnya, standar hidup layak masyarakat masih sangat bervariasi di berbagai daerah. Wilayah perkotaan cenderung memiliki daya beli lebih tinggi dibanding daerah yang infrastruktur ekonominya kurang berkembang. Ia menyarankan penyesuaian upah sebaiknya mempertimbangkan konteks regional agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat setempat.

Kebutuhan hidup layak diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020. Dalam lampiran aturan tersebut, komponen dan jenis kebutuhan hidup layak terdiri atas makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, rekreasi, tabungan, dan jaminan sosial. Untuk makanan, misalnya, diatur soal standar kehidupan layak berupa beras dengan kualitas sedang dengan kebutuhan 10 kilogram. Ada pula sumber protein berupa daging berkualitas sedang dengan kebutuhan 0,75 kilogram. 

Permintaan pengusaha ditentang kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Silaban mengatakan formula pengupahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 merugikan karena kenaikan upah riilnya kecil, yaitu hanya 1-3 persen. "Ini tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup akibat inflasi yang tidak terkendali," ujar Elly.

Elly berharap pemerintah tetap patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan reformulasi variabel tertentu yang membutuhkan aturan baru. KSBSI mengusulkan formula baru dengan menambahkan variabel "indeks tertentu" sebagai faktor penambah, bukan pengurang. Dengan demikian, formula tersebut dapat menghasilkan kenaikan upah lebih signifikan, misalnya di Jakarta yang diperkirakan naik 7,74 persen.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menambahkan, pemerintah juga harus melihat ketimpangan upah minimum antar-daerah yang makin besar. Sebab, kondisi itu mengakibatkan distribusi hasil pertumbuhan ekonomi tidak merata, ketimpangan daya beli pekerja, dan perbedaan biaya produksi antar-wilayah.

Idealnya, kata Ristadi, pemerintah menaikkan persentase UMP lebih besar di daerah dengan upah rendah sehingga kesenjangan upah dapat berkurang. Menurut dia, pendekatan ini dapat menciptakan pemerataan daya beli pekerja dan mengurangi ketimpangan biaya produksi. "Dengan begitu, manfaat pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan secara lebih adil di semua daerah," tuturnya. 

Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menjelaskan, ideal upah minimum harus mempertimbangkan berbagai faktor untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan buruh dan kemampuan pengusaha. 

Faktor utama yang harus diperhatikan, tutur Achmad, adalah KHL. Sebab, faktor tersebut yang menjamin pekerja dapat memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. 

Selain itu, Achmad menekankan pemerintah harus mengacu pada tingkat inflasi agar daya beli pekerja tidak tergerus kenaikan harga barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi juga perlu diperhitungkan karena mencerminkan kapasitas nasional dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. 

"Dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, kenaikan upah dapat sejalan dengan peningkatan produktivitas dan PDB (produk domestik bruto)," ujar Achmad.

Di sisi lain, Achmad mengatakan, kemampuan finansial perusahaan juga tetap menjadi aspek penting. Terutama untuk sektor padat karya yang cenderung lebih rentan terhadap kenaikan biaya tenaga kerja. Untuk itu, produktivitas tenaga kerja juga menjadi pertimbangan karena upah yang ideal harus mencerminkan kontribusi pekerja terhadap keberhasilan perusahaan.

Jika pengusaha belum mampu memenuhi standar ini, Achmad berpandangan bahwa campur tangan pemerintah diperlukan. Pemerintah dapat memberikan insentif atau subsidi untuk membantu sektor tertentu tetap bertahan tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja. Pendekatan ini memungkinkan tercapainya keseimbangan antara kebutuhan buruh dan kelangsungan usaha.

Indikator inflasi juga menjadi sorotan pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan. Ia berpendapat bahwa persentase kenaikan upah minimum seharusnya dihitung dari jumlah angka inflasi ditambah angka pertumbuhan ekonomi. "Tidak perlu dikali dengan indeks tertentu," katanya. 

Hadi menegaskan, upah minimum merupakan aturan yang bersifat imperatif atau wajib berdasarkan undang-undang sehingga tidak dapat dinegosiasikan oleh pekerja ataupun pengusaha. Setiap perusahaan wajib mematuhi ketentuan ini untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun.  Namun, untuk pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun, upah mereka diatur melalui struktur dan skala upah yang dapat dinegosiasikan antara pekerja dan pengusaha.

Fleksibilitas, menurut Hadi, hanya bisa diberikan khusus bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pelaku UMKM tidak diwajibkan mematuhi ketentuan upah minimum karena disesuaikan dengan kemampuan finansial mereka. Kebijakan itu dirancang untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlangsungan usaha.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus