Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Deteksi Dini Kelainan Genetik Penyebab Down Syndrome, Begini Caranya

Apakah bayi yang dikandung mengalami down syndrome atau tidak kini sudah bisa dideteksi lebih awal. Bagaimana caranya?

28 Maret 2021 | 21.58 WIB

Karina Syahna berlatih menari bersama anak-anak down syndrome. Foto: Instagram karinasyahna
Perbesar
Karina Syahna berlatih menari bersama anak-anak down syndrome. Foto: Instagram karinasyahna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pada beberapa kasus kehamilan, bayi yang lahir mengalami kelainan genetik seperti down syndrome. Down syndrome adalah kelainan genetik yang disebabkan ketika pembelahan sel menghasilkan bahan genetik tambahan dari kromosom 21.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kelainan genetik ini menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. Kasus down syndrome di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, pada anak berusia 24-59 bulan ditemui kasus down syndrome sebanyak 0,12 persen. Lalu pada Riskesdas 2013 kasus kelainan genetik ini mengalami peningkatan menjadi 0,13 persen dan data terakhir pada Riskesdas 2018 menunjukkan kasus menjadi 0,21 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dokter Kandungan di MRCCC Siloam Hospital, Andriansjah Dara, menjelaskan ibu hamil normal setidaknya memiliki 23 pasang kromosom. Namun, dalam kasus ibu yang mengandung anak down syndrome, dia memiliki 47 kromosom karena ada satu kromosom tambahan pada kromosom nomor urut 21 atau yang disebut trisomi 21.

Ada sejumlah faktor risiko ibu mengandung anak dengan down syndrome. Faktor paling besar yakni usia ibu yang cukup tua untuk hamil, yakni di atas 35 tahun. Pada era sekarang ini, kata Dara, banyak wanita di kota besar yang menunda pernikahan hingga usia 30 tahun ke atas. Ada juga yang memutuskan menunda punya anak pascamenikah karena alasan pekerjaan. Ketika memutuskan program untuk hamil, akhirnya sulit hingga terjadi kehamilan pada usia optimal. “

"Usia 35 tahun ke atas itu berisiko membuat kelainan. Mulai dari kelainan untuk ibu, seperti hipertensi, termasuk kelainan kromosom atau genetik, dalam hal ini down syndrome. Faktor penyebabnya usia ibu lebih tua,” jelasnya.

Selain usia ibu, menurut catatan Kementerian Kesehatan, faktor risiko down syndrome berikut adalah keturunan, pernah melahirkan bayi down syndrome, jumlah saudara kandung dekat jarak lahir, kekurangan asam folat, dan faktor lingkungan, seperti paparan bahan kimia dan zat asing seperti rokok dan asapnya. Kendati demikian, Dara menambahkan bahwa anak down syndrome memiliki angka harapan hidup yang cukup tinggi.

“Down syndrome dapat hidup normal panjang, hanya ada sedikit keterbatasan yang bisa dilatih. Di trisomi lain, T13 (sindrom pantau) dan T18 (sindrom Edward) angka keberlangsungan hidupnya kecil,” ungkapnya.

Medical Advisor PT Cordlife Persada, dr. Meriana Virtin, mengatakan ada metode untuk mendeteksi adanya risiko trisomi pada bayi sejak masih dalam kandungan melalui Non Invasive Prenatal Testing (NIPT), yang merupakan sebuah skrining untuk membantu mendeteksi berbagai kelainan kromosom, termasuk di antaranya trisomi 21. Dia menjelaskan skrining NIPT direkomendasikan oleh The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) untuk dapat dilakukan oleh semua wanita hamil, terlepas dari usianya. Caranya dengan menganalisis sel bebas DNA dari janin yang terdapat pada darah ibu dan dapat dilakukan pada usia kehamilan 10-24 minggu.

Mariana mengatakan hasil NIPT biasanya diperoleh 10-14 hari sejak pengambilan sampel darah. Hasilnya bisa dua jenis, yakni berisiko tinggi dan rendah. Apabila hasilnya menunjukkan risiko tinggi, ibu hamil tersebut disarankan melakukan pemeriksaan lanjutan dengan pengambilan cairan ketuban, kemudian diperiksa genetik apakah ada trisomi atau tidak.

“Kalau high risk baru dilanjutkan pemeriksaan invansif atau diagnostiknya. Ini bisa dipakai untuk skrining trisomi tadi,” sebutnya.

Dengan pemeriksaan ini diharapkan ibu lebih siap secara mental jika nyatanya dia mengandung anak down syndrome.

Bendahara Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) II, Eliza Octavianti Rogi, mengatakan anak dengan down syndrome bisa berkomunikasi dengan anak lain, memiliki harapan dan keinginan seperti anak normal lain, dan memiliki semangat dalam meraih kemajuan.

”Mereka senang bergaul, anak yang hangat gembira, punya potensi bakat yang bisa menjadi bekal di kemudian hari dan bisa berpartisipasi di masyarakat,” tegasnya.

POTADS berupaya untuk menampilkan harapan dan prestasi anak dengan down syndrome itu hingga akhirnya banyak dari mereka kini bisa berpartisipasi di masyarakat dan mendapat pekerjaan.

“Anak kami dinilai tidak punya masa depan, beban keluarga, anak yang harus dijauhi atau dikucilkan. Dengan mengekspos anak kami, masyarakat punya gambaran utuh, mereka punya potensi yang dikembangkan,” tuturnya.

Eliza pun terus berharap agar masyarakat secara utuh menerima anak down syndrome dan memberi ruang gerak yang lebih luwes untuk mereka mengembangkan diri. Pandangan negatif memang tidak bisa dihindari. Di sini penting bagi orang tua untuk terus menguatkan mentalnya.

Selain itu, anak down syndrome juga perlu dibekali pemahaman adanya reaksi kurang menyenangkan dari orang lain. Edukasi juga harus digaungkan kepada orang terdekat dan sekitar untuk bisa menerima anak istimewa ini. “Memang tidak mudah, harus bermental baja,” kata Eliza.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus