Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Perlunya Orang Tua Antisipasi Perundungan Anak di Dunia Maya

Orang tua diminta mengantisipasi potensi perundungan anak di media sosial. Ini dampaknya bila diabaikan.

7 Juni 2022 | 20.57 WIB

Cyber bullying
Perbesar
Cyber bullying

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Perundungan di dunia maya atau cyber bullying sebagai migrasi bentuk dari perundungan dunia nyata amat membahayakan para remaja. Perundungan di dunia maya pada akhirnya bisa bermutasi lagi menjadi konflik dan kekerasan di dunia nyata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr. Oktavina Anggraini, meminta para orang tua mengantisipasi potensi perundungan anak di media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Orang tua harus hadir, cepat, dan sigap membantu mengatasi dan menyelamatkan perundungan di media sosial," katanya.

Ia menuturkan para remaja korban perundungan di dunia maya yang tidak mau membuka kasusnya kepada keluarga maupun publik bisa berdampak serius pada mental.

"Efek membiarkan kasus yang menimpa adalah derita pada diri remaja yang menjadi korban kejahatan tersebut. Situasi ini sesungguhnya bukan persoalan sederhana, sebaliknya ini situasi yang sangat sulit bagi mereka," ujarnya.

Menurutnya, ada tiga bentuk dampak yang biasanya dirasakan korban perundungan, yakni dampak psikis, fisik, dan psikososial. Dampak psikis ringan seperti cemas, takut, sedangkan dampak berat seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri.

"Dampak fisik sebagai rentetan dari psikis, penderita akan pusing, asam lambung naik, sulit tidur, dan gangguan pencernaan. Dampak berikutnya bersifat psikososial, anak malas belajar, prestasi menurun, bahkan enggan pergi ke sekolah karena merasa telah dikucilkan teman-temannya," ujarnya.

Karena itu, orang tua harus sigap ketika menghadapi anak sendiri maupun anak orang lain yang menjadi korban perundungan di media sosial, seperti mendokumentasikan bukti perundungan dengan cara tangkapan layar, menyimpan pembicaraan, memblokir akun pelaku perundungan.

"Pada proses penyelamatan dan identifikasi kejadian itu, kita jangan membalas obrolan. Lakukan saja menyembunyikan komentar yang sekiranya tidak pantas. Ketika pelaku perundungan teman sekolah, orang tua bisa bekerja sama dengan guru dan komite sekolah untuk mengatasi hal ini," jelasnya.

Peran lain yang sangat penting, orang tua harus membangkitkan kepercayaan diri anak korban perundungan siber agar mau kembali bersekolah dan bersemangat berprestasi seperti sebelumnya. Selain itu, orang tua juga perlu memberikan literasi media sosial kepada anak daripada melarang menggunakan internet.

Dalam memainkan peran tersebut, ia menuturkan para orang tua perlu mempelajari UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019, Oktavina menyebutkan, frekuensi tindak perundungan di media sosial masuk kategori masif. Tercatat sebanyak 49 persen dari pengguna siber yang tercatat, 150.000.000 lebih mengalami perundungan.

"Maknanya pengguna siber yang mengalami perundungan sangat banyak," katanya.

Menurutnya, para korban cenderung mencari aman dengan memilih diam dan enggan melaporkan. "Dari 49 persen yang mengalami perundungan, sebanyak 37,5 persen memilih untuk membiarkan tindakan tersebut," ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus