Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Si kembar siam dempet kepala (Craniopagus) Fitri Sakinah dan Fitri Rahmawati, 3 tahun tak mau diam. Fotografer dari RSUP Sardjito berulang kali meminta keduanya untuk berhenti sejenak untuk bergaya. Hanya sebentar diam, keduanya terus berjalan cepat ke ruang bermain di lantai dua bangsal anak rumah sakit itu. Rahmawati yang bertubuh lebih besar dan berisi tampak lebih aktif ketimbang adiknya, Sakinah yang terlihat kurus. Ke mana pun Rahmawati ingin menuju mau tak mau Sakinah ikut serta. Kadang langkah kaki Sakinah terseok-seok mengikuti langkah kakaknya. “Mereka supel. Tiap hari suka menengok pasien anak-anak di kamar-kamarnya,” kata perawat, Winarni.
Baca: Dirawat 117 Hari, Anak Kembar Siam Ini Belum Punya Anus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya pun duduk di kursi kecil warna warni yang terpisah dan berdampingan. Aneka mainan bertebaran di meja. Namun Sakinah dan Rahmawati lebih suka mengobrol dengan perawat dan menyanyikan lagu “Bintang Kecil” ketimbang bermain. Dengan mengenakan baju bercorak polkadot dan jepit rambut warna ungu di kepala, keduanya terlihat lincah siang itu, Senin, 15 Oktober 2018. “Aku baru bangun tidur,” kata Rahmawati sambil mengusap matanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun saat mendengar suara Dokter Spesialis dan Konsultan Anak, Sunartini Hapsara, keduanya menghambur ke luar. Mereka memanggil Sunartini dengan sebutan “eyang”. Dengan perawat dan dokter di sana pun sudah dikenalnya. Mengingat mereka telah tinggal di bangsal itu sejak 10 Juli 2015 untuk menjalani operasi pemisahan kulit kepala dan sebagian tulang tengkorak. Kamar paling pojok adalah kamarnya. Berikut juga kedua orang tuanya, Syahbandi, 32 tahun dan Siti Khotijah, 30 beserta kakaknya yang berasal dari Kutacane, Aceh Tenggara ikut menemani. Syahbandi dipekerjakan menjadi karyawan honorer di rumah sakit itu dan kakaknya bersekolah di kota itu. "Karena dalam proses penanganan, pengamatan, dan pendampingan psikologis terhadap anak memerlukan dukungan orang tua dan kakaknya,” kata Ketua Ikatan Psikolog Klinis Pusat (IPKP) Indria Laksmi Gamayanti.
Ketiga tindakan itu dilakukan untuk mengetahui perkembangan kognitif atau daya pikir, motorik halus dan kasar, berbahasa, sosial dan emosi, serta kemampuan adaptasi. Menurut Indria, saat pertama kali tiba, kemampuan mereka masih di bawah rata-rata. Namun perkembangan tumbuh kembang Sakinah dan Rahmawati meningkat. Kemampuan kognitif sudah sesuai rata-rata, bahkan skor IQ Rahmawati 127 atau di atas rata-rata. Begitu pula dengan kemampuan berbahasa keduanya juga di atas rata-rata. Yang perlu mendapat dukungan saat ini adalah melatih kemampuan motorik halus, emosi dan adaptasinya. “Kadang satunya ingin duduk, satunya ingin jalan. Satunya mau buang air besar, yang lain enggak mau dan protes karena bau,” kata Indria.
Indria menjelaskan, tantangan yang dihadapi kembar siam adalah bagaimana menerima diri. Kemudian mengkoordinasikan kemauan yang berbeda. Caranya adalah mengedukasi kembar siam untuk saling mengkoordinasikan keinginan masing-masing dan bertoleransi atas keinginan yang berbeda pula. “Kalau kakaknya ingin jalan, bagaimana melatih adiknya untuk mengalah. Atau kalau adiknya ingin duduk, bagaimana melatih kakaknya untuk menunggu,” kata Indria.
Serta bagaimana mengedukasi kembar siam untuk menghadapi situasi sosial. Upaya mengedukasi ini harus dilakukan terhadap dua pihak, yaitu terhadap kembar siam maupun masyarakat. “Jangan sampai masyarakat menjadikan mereka obyek tontonan, ditertawakan. Tapi harus didukung untuk diterima karena kembar siam juga punya hak yang sama,” kata Indria.
Baca: Ada 3 Risiko Fatal, Bayi Kembar Siam Asal Aceh Belum Bisa Dipisah
Saat ini, Sakinah dan Rahmawati akan menjalani proses transisi untuk mempersiapkan mereka keluar dari rumah sakit dan berbaur dengan lingkungan masyarakat. Proses tersebut di bawah koordinasi Komisi Perlindungan Anak (KPA) Di Yogyakarta selama enam bulan. Usai tahap transisi tersebut, keduanya akan dipulangkan ke Aceh dan menjalani adaptasi di sana di bawah pantauan tim medis setempat. “Kami siapkan agar anak tidak mendapat diskriminasi dan menjadi obyek yang diperlakukan berbeda,” kata Ketua KPA DI Yogyakarta Y. Sari Murti Widyastuti.