Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kota-kota dunia bakal berubah usai Covid-19. Selain aturan yang membuat manusia saling menjaga jarak, rupanya demikian pula penataan fasililtas publik. Hal yang berubah, di antaranya kursi-kursi di taman hingga halte bis dibatasi jumlahnya. Malahan diberi sekat serat kaca, agar tak membuat warga tak bersentuhan. Seperti apa, model fasilitas umum setelah Covid-19 berlalu? Inilah rangkumannya dari CNN Style.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengurangan Transportasi Umum dan Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karantina wilayah atau lockdown mengakibatkan polusi berkurang dramatis. Namun bukan hanya polusi yang jadi fokus perhatian. Dengan mengurangi transportasi umum dan publik, kontak antar warga juga kian minim.
Di Oakland, California, hampir 10 persen jalan raya, sedangkan Bogota, Kolombia, telah membuka 47 mil jalur sepeda sementara. New York telah mulai melakukan uji coba tujuh mil yang diperuntukkan untuk jalur sepeda dan pejalan kaki. Auckland, Mexico City dan Quito di antara lusinan kota dunia lainnya yang bereksperimen dengan langkah-langkah serupa.
Mendorong warga bersepeda dapat mengurangi keramaian dalam bus kota dan kereta bawah tanah, agar warga mendapatkan jarak satu sama lain. Jalan bebas kendaraan menawarkan warga akses yang aman menuju taman.
Sejumlah warga mengendarai sepeda saat Hari Tanpa Kendaraan di jalur sepeda di Bogota, Kolombia, 4 Februari 2016. REUTERS/John Vizcaino
Kota-kota di AS, Kanada dan Australia telah mengkonfigurasi ulang lampu lalu lintas sehingga orang tidak perlu lagi menyentuh tombol penyeberangan. Milan berencana membangun 22 mil jalur sepeda baru dan memperluas trotoar secara permanen setelah karantina wilayah dicabut. Namun, aturan tersebut belum tentu permanen. Kecuali Paris, yang telah mendedikasikan 400 mil jalan rayanya untuk jalur sepeda.
Konsep ulang ruang publik
Parc de la Distance, merupakan proposal spekulatif oleh studio desain Austria Precht, membayangkan taman umum yang penuh dengan pelindung dan pembatasan jarak selebar dua meter – yang tampak seperti labirin.
Para pejalan kaki diberi antrean, sehingga untuk berjalan di seluruh taman butuh waktu 20 menit – demi menjaga jarak dari yang lain. Jalanan taman itu, dilengkapi dengan gerbang yang mengatur kapan jalur bisa ditempati.
Sementara itu firma Ceko Hua Hua Architects telah mengusulkan "Zona Aman Gastro", yang menggunakan marka tanah berwarna cerah, untuk mendorong orang yang lewat agar menjaga jarak dari pengunjung di udara terbuka. Dan di Milan, salah satu kota yang paling parah dilanda Covid-19, desainer Antonio Lanzillo telah membayangkan bangku-bangku publik yang dilengkapi dengan pembagi plexiglass "shield".
Kursi dengan pembatas kaca akrilik di pusat kota, untuk mematuhi aturan menjaga jarak. Foto: Antonio Lanzillo & Partners/CNN
Mengurai Kepadatan
Salah satu yang mengkhawatirkan dari sifat wabah, yakni, sangat cepat menyebar di permukiman padat. New York City menjadi contoh paling aktual.
Data dari Harris Poll menemukan bahwa hampir sepertiga orang Amerika mempertimbangkan untuk pindah ke tempat-tempat yang kurang ramai sebagai akibat langsung dari Covid-19. Jajak pendapat, yang dilakukan pada akhir April, mengindikasikan bahwa responden yang berusia 18 hingga 35 tahun adalah yang paling mungkin mempertimbangkan langkah semacam itu.
"Ruang sekarang berarti lebih dari satu meter persegi," kata CEO Harris John Gerzema dalam siaran pers. "Sudah dilanda rente tinggi dan jalan-jalan macet, virus itu sekarang memaksa kaum urban untuk mempertimbangkan jarak sosial sebagai gaya hidup."
Gubernur New York Andrew Cuomo juga tampaknya menyalahkan keparahan Covid-19 di kotanya pada kepadatan kota. "Ada tingkat kepadatan di NYC yang merusak," tweetednya. "Itu harus berhenti dan harus berhenti sekarang. NYC harus mengembangkan rencana segera untuk mengurangi kepadatan."
Penumpang duduk di bangku yang telah diberi stiker panduan jarak antarpenumpang di rangkaian gerbong kereta MRT, Jakarta, Jumat, 20 Maret 2020. Sebagai tindakan pencegahan penyebaran virus Corona atau COVID-19, pemerintah telah memberikan arahan kepada seluruh masyarakat untuk mulai menerapkan praktik "social distancing" atau menjaga jarak sosial dalam kegiatan sehari-hari. ANTARA
Bahkan sebelum perkembangan teori kuman, orang tidak mempercayai manfaat tinggal dalam jarak dekat. Kepercayaan Victoria yang tersebar luas bahwa racun (atau "udara buruk") membantu menyebarkan penyakit, sebagian membenarkan pembersihan kawasan kumuh London pada abad ke-19. Namun kepadatan populasi membuktikan, selama wabah SARS 2003, virus menyapu seluruh kawasan perumahan Amoy Gardens Hong Kong.
Tapi para ahli memperdebatkan teori kepadatan penduduk. Pasalnya, Hong Kong memiliki infeksi virus corona lebih sedikit dibanding kota-kota di AS yang jarang penduduknya. Namun, tata kota ke depan akan sangat memperhatikan kepadatan populasi.
Arsitektur dan Pangan
Epidemi dapat memiliki efek radikal dan tak terduga pada arsitektur dan desain. Pandemi flu 1918, misalnya, membantu mengubah kamar mandi rumah di Eropa. Bahkan pemilik properti memasang perlengkapan kuningan dan kamar serbuk untuk menjaga para tamu dari kamar mandi utama.
Belakangan pada awal abad 20 itu, sanatoria yang dibangun untuk mengobati tuberkulosis (TBC), menginspirasi estetika warna putih dalam arsitektur modernis. Sanatoria yang memanfaatkan sinar matahari untuk membunuh bakteri TBC, menginspirasi teras dan taman beratap.
Ilustrasi urban farming/berkebun di perkotaan. Shutterstock
Jadi meskipun mempertimbangkan dampak Covid-19, pada tahap ini, sebagian besar spekulatif, ada banyak ruang untuk inovasi.
Mungkin warga dunia bakal melihat lebih banyak pintu otomatis. Juga pemanfaatan halam rumah untuk urban farming, untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri – ketimbang menyerbu stok makanan di supermarket.