Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sumbawa Besar - Ingin berlibur di alam yang sejuk di ketinggian 850 meter di atas pemukaan laut, dengan suhu sejuk berkisar 18 - 21 derajat? Berkunjunglah ke Desa Batu Dulang yang kini telah menjadi desa ekowisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari desa yang memiliki batu berbentuk nampan itu, wisatawan bisa menyaksikan lanskap kota Sumbawa Besar, Pulau Moyo, dan Gunung Tambora.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, juga dapat menikmati kesejukan air terjun Tiu Dua, mendengarkan kicauan puluhan jenis burung di sepanjang jalan desa. Kemudian bergabung dengan warga, yang memproduksi kopi arabika dan robusta dengan cara tradisional.
Anda juga bisa menyinggahi galeri UMKM setempat, yang hasil hutan berupa madu, kopi, minyak kemiri -- untuk menyehatkan rambut -- dan buah-buahan di antaranya manggis.
Batu Dulang terletak sekitar 26 kilometer dari arah kota Sumbawa Besar ke selatan. Desa itu bisa dijangkau dalam waktu sekitar 45 menit. "Desa wisata Batu Dulang ini merupakan salah satu lanskap terbaik di Sumbawa," kata Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata, Kabupaten Sumbawa, Muhammad Irfan.
Pegiat kelestarian Hutan Julmansyah, yang selama delapan tahun 2011-2017 sebagai Kepala KPH Batulanteh, dan terhitung Maret 2019 sebagai Kepala Bidang Pengelolaan Hutan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat, menyebutkan Desa Batu Dulang ibaratnya gerbang dari gugusan pegunungan Batu Lanteh. "Kita dapat menantap Kota Sumbawa, Pulau Moyo serta Gunung Tambora dari desa ini dengan jelas," ujarnya.
Wisatawan asing umumnya menyenangi merasakan hidup sebagai warga desa, salah satunya menggoreng kopi robusta dan arabika, produksi warga Desa Batu Dulang. Foto: Sahabudin
Di Desa Batu Dulang ini, wisatawan dengan mudah menemukan kelompok hutan dengan jenis tanaman meranti-merantian yang biasa banyak ditemukan di Kalimantan. Pohon itu menjulang tinggi dengan diameter sekitar dua pelukan dua orang dewasa.
Di sekitar hutan desa ini pun dengan mudah ditemukan pohon ginitri atau pohon siwa. Berbagai potensi jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) tersedia di kawasan hutan ini, seperti kayu manis dan pandan gunung, yang merupakan bahan baku tikar dan berbagai kerajinan.
Desa ini juga penghasil madu hutan yang berkualitas karena hutannya masih sangat baik sebagai sumber pakan lebah hutan. Desa ini merupakan desa pertama yang menerapkan panen lestari madu hutan dan dengan teknik tiris madu tanpa peras tangan, dibawah pembinaan Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) sejak 2008 lalu hingga sekarang.
Karena madu ini, pemuda setempat Sahabudin alias Ahong, 36, dihadirkan ke Provinsi Rizal dan Manila 19 - 25 0ktober 2019 oleh NTFP ASIA, Jaringan Madu Hutan Indonesia dan Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS). NGO dari Filipina Non Timber Forest Product Exchange Program yang merupakan mitra kerja JMHS.
Ahong juga salah seorang perintis ekowisata di Batu Dulang. Ia berhasil memetakan potensi desanya, lalu berinisiatif membentuk ekowisata di desanya. Ia mengembangkan wisata mendengar suara burung atau birdwatching (pengamatan burung). "Sudah dua kali melayani kelompok pendengar burung dari Surabaya dan Bali," kata Ahong. Selain itu juga ada peminat khusus melakukan panen madu dan mengunjungi air terjun Tiu Dua.
Mengenai keberadaan suara burung ada 25 jenis burung di Batu Dulang. Diantaranya punglor, sameong, pelatuk, kenenang kuning, burung kipas, dan burung Hantu. "Kami baru tahap mencoba lima kali membawa tamu. Mereka senangnya mendengar burung bersiul. Kami diam mendengar suara burung seperti relaksasi," ujarnya.
Dari Desa Batu Dulang, jarak lokasi Air Terjun Tiu Dua, sekitar tiga kilometer atau kurang lebih lima menit bersepeda motor lalu dilanjutkan jalan kaki 25 menit. Ketinggian air terjun itu sekitar delapan meter. Di atas air terjun tersebut terdapat dua kolam besar yang bisa digunakan untuk mandi. "Air terjun itu di bawah kolam," ucapnya. Air dari lokasi ini menjadi sumber air PDAM di kota Sumbawa Besar.
Untuk kebutuhan swafoto, warga Desa Batu Dulang juga membangun menara. Foto: Sahabudin
Ahong menyebutkan bahwa selama ini turis yang datang menyukai kegiatan warga, seperti panen kopi pada bulan tertentu dan juga panen madu. Mengenai madu, disebutnya desa penghasil yang per orang bisa mendapatkan sembilan botol yang jika diuangkan mencapai Rp800.000.
Demikian pula panenan kemiri, yang luas lahannya sekitar 200 hektar bisa menghasilkan 600 ton sekali musim, seharga Rp7.000 per kilogramnya, dengan total mencapai Rp4,2 miliar.
Untuk wisata buah sudah mulai tersedia manggis, duren dan alpukat. Rata-rata satu ton buah-buahan tersebut dipanen dari empat lokasi, yang rata-rata satu lokasi luasnya satu hektare.
Wisatawan lokal dan turis asing sering mengikuti proses panen hingga pengemasan. Antara lain madu dan kopi bubuk, kunyit, buah kemiri menjadi minyak.
Kelompok sadar wisata di Desa Batu Dulang juga menyiapkan beberapa menara untuk swafoto. Mereka juga mengelola empat homestay yang masing-masing memiliki tiga kamar. Tarifnya Rp75.000 semalam dan biaya makan Rp 25 ribu plus kopi per orang per sekali makan. Menu tersebut berlauk ikan nila dari kolam warga. Sayur juga dipetik dari ladang warga.
Wisatawan mancanegara tinggal di homestay milik warga Desa Batu Dulang. Foto: Sahabudin
Di Desa Batu Dulang juga terdapat wisata goa. Di sana, terdapat tujuh goa yang dikabarkan peninggalan zaman Belanda. Bentuk mulut goanya persegi. Kedalamannya sekitar 100 meter namun di sekitar mulut goa terdapat sumur perangkap. "Di kebun kopi saya ada empat titik di lokasi Brang Suir," kata Ahong.
SUPRIYANTHO KHAFID