Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Imlek Masa Lalu di Glodok, Tak Bisa Beli Pakaian di Pinggir Jalan

Warga Tionghoa dulu tak leluasa merayakan Imlek, dari beli pakaian baru sampai tradisi Sin Cia dilakukan secara terbatas.

12 Februari 2018 | 06.51 WIB

seorang pedagang pakaian sedang menawarkan dagangannya di Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Senin, 5 Februari 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Perbesar
seorang pedagang pakaian sedang menawarkan dagangannya di Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Senin, 5 Februari 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Imlek 2018, Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, dipenuhi tenda-tenda para pedagang. Mereka menjajakan macam-macam dagangan, mulai aksesori hingga pakaian. Hampir semua dagangan berwarna merah. Bila dilihat dari jauh, tenda-tenda ini tampak meriah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca juga:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Para pelapak mengumbar dagangannya sampai menutupi trotoar Jalan Pancoran, bahkan seperempat badan jalan. Tak jarang, keramaian ini membuat macet. Ini seperti pertanda, Imlek 2018 tampaknya bakal meriah.

Transaksi pedagang dan pembeli turut menjadi penyumbang kemeriahan suasana Pasar Petak Sembilan menjelang Imlek. Orang-orang berbahasa Mandarin dengan logat Nusantara saling bernegosiasi. Juga sesekali melempar kelakar, yang menimbulkan tawa membahana.

Suasana semeriah ini, menurut seorang pria warga asli Glogok, Jakarta, Hartanto Widjaja, tak dirasakan di masa lampau. “Imlek tak meriah sebelum Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid, red) menjabat,” katanya saat ditemui di Jalan Kemenangan, Glodok, Senin, 5 Februari 2018.

Ruang ekspresi yang terbatas menjadi gambaran tahun baru Cina yang dialami Koh JM —panggilan akrab Hartanto-- pada masa remajanya, yakni tahun 1970-an. “Mana ada (pedagang pakaian) di pinggir jalan. Tahun 1965-an sampai sebelum Gus Dur jadi presiden, tak ada pedagang baju Imlek di jalanan,” tuturnya.

Kenangan baju Imlek ini memang paling membekas di ingatan Koh JM. Ia ingat, setiap kali hendak merayakan tahun baru Cina, ibunya selalu menjahit pakaian sendiri. Hal serupa juga disampaikan oleh Akiong, perantau dari Medan yang sudah bermukim di Glodok sejak 1970-an.

“Kalau beli baju, dulu enggak bisa di pinggir jalan. Jadi saya harus ke toko, masuk ke dalam-dalam gitu,” katanya, saat ditemui di tempat yang berbeda.

Selain perihal pakaian, persoalan libur turut menjadi hal yang paling diingat kedua warga beretnis Tionghoa itu. Dulu, kata Koh JM, tak ada tanggal merah saat perayaan Imlek. Ia, yang masih sekolah, terpaksa kudu masuk setelah sembahyang.

Lantas, seusai pulang sekolah, tradisi rutin Sin Cia, yakni berkunjung ke tempat saudara yang lebih tua, pun baru dilakukan. “Kalau sekarang, kan, bebas, bisa seharian jalan ke rumah saudara sampai malam,” katanya.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus