Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Sekitar 50-an, anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Malang nonton bareng film Ngeling-eling Peniwen di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Sabtu malam, 31 Agustus 2024. Film dokumenter karya Cinecronic Film yang didukung Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang mengisahkan 12 relawan palang merah remaja yang menjadi korban pembantaian tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), saat Agresi Militer pada 19 Februari 1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tragedi berdarah tersebut diabadikan dalam relief monumen Peniwen Affair yang dibangun 11 Agustus 1983. Salah satu dari tiga monumen palang merah di dunia. Pemutaran film dilangsungkan dalam Kajian Rutin bertema nyala api sejarah dalam membangun semangat kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya tidak tahu latar sejarah monumen Peniwen Affair. Saya ingin lebih mendalaminya. Seperti ungkapan Bung Karno, jas merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kami pelajar yang haus ilmu,” kata Ketua IPNU Kabupaten Malang M. Syahrul Mubaraq sebelum pemutaran film.
Film berdurasi 40 menit ini diputar pertama kali dalam the 13th conference of the European Association for Southeast Asian Studies (EuroSEAS) 25 Juli 2024. Pemerhati sejarah, Tjahjana Indra Kusuma membedah film tersebut berdasar sejumlah dokumen dan pemberitaan surat kabar. Ia menelisik 350 rubrik dari sejumlah surat kabar. Majalah berbahasa Belanda De Vrije Pers, terbitan Surabaya yang pertama kali melaporkan tragedi Peniwen.
Laporan ditulis pendeta Hilderings dari gereja reformis, setelah membaca rubrik Pewartos Ringkes di buletin bulanan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) terbit 23 Maret 1949. Digambarkan tragedi Peniwen dimulai sejak sore 17 Februari 1949, puluhan KNIL mendatangi sebuah klinik rawat jalan dan bersalin Panti Oesodo. Sejumlah perawat dan PMR merawat pasien di klinik tersebut.
Tentara KNIL mengobrak-abrik klinik dan obat obatan dan pejuang. Mereka dipaksa keluar dari klinik, ditendang, dan dibentak. Dengan tangan teringat, satu per satu mereka ditembak di halaman klinik. KNIL kembali datang dan menyerang gereja yang berisi manula, anak-anak dan perempuan yang sedang menjalankan kebaktian. Mereka membunuh warga dan memerkosa tiga perempuan.
“Tragedi itu menampar pemerintah Belanda, melanggar konvensi Jenewa. Dilarang menyerang palang merah, klinik, dan tempat ibadah. Kejahatan perang,” kata Indra.
Monumen Peniwen Affair. (matic.orid)
KNIL melakukan operasi di Peniwen lantaran Desa Peniwen menjadi basis pertahanan pejuang. Intelijen militer Belanda, kata Indra, menyebut Peniwen menjadi tempat persembunyian geng perusuh. “Sejumlah desa di kaki Gunung Kawi, termasuk Peniwen senantiasa memasok logistik untuk para pejuang,” katanya.
Laporan tersebut kemudian menyebar, dikutip sejumlah surat kabar dan menjadi perbincangan di Eropa. Sinode gereja memprotes aksi kekerasan yang dilakukan militer Belanda kepada Dewan Gereja Dunia (World Church Council). Hingga diturunkan tim pencari fakta menelisik tragedi berdarah tersebut. “Berita itu viral, menjadi perhatian dunia,” kata Indra.
Jenderal Simon Hendrik Spoor yang memimpin operasi militer Agresi Militer memerintahkan dibentuk komite pencari fakta dan menghukum prajurit yang melanggar. Namun, sejumlah prajurit KNIL melakukan operasi pembersihan untuk menghilangkan saksi. Beruntung, TNI berhasil mengevakuasi mereka. Kesaksian mereka, kata Indra, penting untuk mengungkap peristiwa.
Dalam laporannya, komite pencari fakta menemukan fakta terjadi penembakan di klinik Oesada. Namun mereka menutupi fakta jika KNIL juga menyerbu gereja, saat jemaat beribadat. Pada 2016, katanya, Belanda memberikan kompensasi kepada korban rudapaksa. Bahkan, Perdata Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf.
Kepala seksi pelayanan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kabupaten Malang Amirul Tasin menjelaskan PMI telah menerbitkan buku mengenai tragedi Peniwen. Setiap tahun, PMI bersama relawan melangsungkan peringatan tragedi di Peniwen. “Buku terbit berdasar keterangan saksi yang dimintai penjelasan pada 1992 dan 1994,” katanya.
Salah seorang anggota IPNU mengaku pemutaran sekaligus bedah film Ngeling-eling Peniwen untuk merawat ingatan. Sekaligus mengenalkan sejarah kepada para pemuda. “Agar tak kehilangan jati diri dan merawat sejarah,” katanya.