Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Pilih Jalur Utara ke Everest, Ini Alasan Dua Pendaki Indonesia

Dua pendaki perempuan asal Indonesia yang belum lama ini berhasil mencapai puncak Everest memilih lewat jalur utara.

7 Juni 2018 | 19.43 WIB

Dua pendaki wanita Indonesia Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari, saat kunjungan ke kantor TEMPO, Jakarta, Kamis, 7 Juni 2018. TEMPO/Fajar Januarta
material-symbols:fullscreenPerbesar
Dua pendaki wanita Indonesia Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari, saat kunjungan ke kantor TEMPO, Jakarta, Kamis, 7 Juni 2018. TEMPO/Fajar Januarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Dua pendaki perempuan asal Indonesia yang belum lama ini berhasil mencapai puncak Everest, Fransiska Dimitri Inkiriwang, 24 tahun, dan Mathilda Dwi Lestari (24), mengatakan memilih jalur sisi utara dalam pendakiannya menuju puncak tertinggi dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Kami memilih lewat Tibet, Cina, daripada jalur selatan dari Nepal,” ujar Fransiska di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jalur yang tak sefamiliar Nepal itu dianggap lebih bersahabat bagi mereka. Rekomendasi tersebut berasal dari pemandunya yang asli Jepang, Hirouki, yang sebelumnya juga mendampingi mereka dalam pendakian ke Vinson Massif, Antartika.

Di jalur utara, Tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan Bandung (WISSEMU) itu menghindari zona tengkorak Everest yang dinamakan Khumbu Icefall. Khumbu Icefall akan ditemui ketika pendaki melalui jalur selatan.Fransiska (kiri) dan Mathilda dari tim WISSEMU di puncak Gunung Everest, 17 Mei 2018 (Dok.Tim)

Khumbu Icefall merupakan jurang yang terbentuk akibat pergerakan gletser. Untuk melalui jurang itu, pendaki harus melewati tangga besi. Sejumlah sherpa atau pemandu pendakian dan pendaki tercatat meninggal di titik ini.

Meski medan di jalur utara juga ekstrem, namun relatif lebih aman. “Tahun lalu, tidak terjadi kecelakaan di jalur sisi utara ini. Ada satu meninggal tapi karena serangan jantung di atas,” kata Mathilda.

Selain itu, camp di sisi utara lebih tinggi dibanding camp di sisi selatan. Karena itu, Fransiska dan Mathilda cukup melakukan aklimatisasi sekali di ketinggian 7.000 mdpl. 

“Setelah itu balik lagi ke 4.200 mdpl untuk recovery (pemulihan),” katanya. Sedangkan dari sisi selatan, pendaki harus melakukan aklimatisasi sebanyak dua kali. 

Perjalanan pun terasa nyaman karena tak benyak pendaki melewati jalur tersebut. Pada saat bersamaan, hanya ada sekitar 60 orang yang membarengi mereka.

Meski lebih aman, persyaratan untuk mengurus izin pendakian cukup sulit. Keduanya harus menunggu visa dan izin mendaki dari pemerintah Cina. Mereka juga kudu bekerja sama dengan Tibet Mounteneering Association yang akan membantu mereka mengurus izin tersebut untuk memulai perjalanan menuju puncak tertinggi dunia. “Kami juga harus cermat memilih agen pendakian. Yang jelas adalah yang dipercaya,” ujar Fransiska.

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus