Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dua pendaki perempuan asal Indonesia yang belum lama ini berhasil mencapai puncak Everest, Fransiska Dimitri Inkiriwang, 24 tahun, dan Mathilda Dwi Lestari (24), mengatakan memilih jalur sisi utara dalam pendakiannya menuju puncak tertinggi dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami memilih lewat Tibet, Cina, daripada jalur selatan dari Nepal,” ujar Fransiska di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalur yang tak sefamiliar Nepal itu dianggap lebih bersahabat bagi mereka. Rekomendasi tersebut berasal dari pemandunya yang asli Jepang, Hirouki, yang sebelumnya juga mendampingi mereka dalam pendakian ke Vinson Massif, Antartika.
Di jalur utara, Tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan Bandung (WISSEMU) itu menghindari zona tengkorak Everest yang dinamakan Khumbu Icefall. Khumbu Icefall akan ditemui ketika pendaki melalui jalur selatan.Fransiska (kiri) dan Mathilda dari tim WISSEMU di puncak Gunung Everest, 17 Mei 2018 (Dok.Tim)
Khumbu Icefall merupakan jurang yang terbentuk akibat pergerakan gletser. Untuk melalui jurang itu, pendaki harus melewati tangga besi. Sejumlah sherpa atau pemandu pendakian dan pendaki tercatat meninggal di titik ini.
Meski medan di jalur utara juga ekstrem, namun relatif lebih aman. “Tahun lalu, tidak terjadi kecelakaan di jalur sisi utara ini. Ada satu meninggal tapi karena serangan jantung di atas,” kata Mathilda.
Selain itu, camp di sisi utara lebih tinggi dibanding camp di sisi selatan. Karena itu, Fransiska dan Mathilda cukup melakukan aklimatisasi sekali di ketinggian 7.000 mdpl.
“Setelah itu balik lagi ke 4.200 mdpl untuk recovery (pemulihan),” katanya. Sedangkan dari sisi selatan, pendaki harus melakukan aklimatisasi sebanyak dua kali.
Perjalanan pun terasa nyaman karena tak benyak pendaki melewati jalur tersebut. Pada saat bersamaan, hanya ada sekitar 60 orang yang membarengi mereka.
Meski lebih aman, persyaratan untuk mengurus izin pendakian cukup sulit. Keduanya harus menunggu visa dan izin mendaki dari pemerintah Cina. Mereka juga kudu bekerja sama dengan Tibet Mounteneering Association yang akan membantu mereka mengurus izin tersebut untuk memulai perjalanan menuju puncak tertinggi dunia. “Kami juga harus cermat memilih agen pendakian. Yang jelas adalah yang dipercaya,” ujar Fransiska.