Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Puncak ritual adat Tengger, Yadnya Kasada selalu menjadi magnit wisatawan. Wisatawan nusantara maupun mancanegara berdatangan untuk melihat ritual setahun sekali tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puncak ritual adat Tengger, Yadnya Kasada selalu menjadi magnet bagi wisatawan. Wisatawan nusantara maupun mancanegara berdatangan untuk melihat ritual setahun sekali tersebut. Namun, sejak 15 tahun lalu jumlah pengunjung menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejak ramai media sosial, pengunjung Kasada menurun," ujar juru bicara Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS), Ponco Supriyandogo, Rabu 17 Juli 2019.
Masyarakat adat Tengger membasuh mukanya ketika melakukan ritual pengambilan air suci di Goa Widodaren di kawasan Gunung Bromo,Probolingo, Jawa Timur, Rabu, 17 Juli 2019. Ritual berdoa dan mengambil air suci merupakan bagian prosesi yang di lakukan oleh masyarakat Tengger menjelang perayaan Yadnya Kasada di Gunung Bromo. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Menurutnya, sebelum marak media sosial, wisatawan ingin melihat langsung ritual Kasada di Gunung Bromo. Bahkan, sebagian pengunjung rela mendirikan tenda untuk bermalam.
Sedangkan sekarang, mereka memilih melihat foto dan video yang tersebar di media sosial. Padahal, bila melalui media sosial mereka tak merasakan sensasi ritual melarung sesaji hasil bumi di kawah Gunung Bromo.
Sedangkan umat dan masyarakat Tengger tetap membludak saat ritual Yadnya Kasada. Mereka berduyun-duyun membawa sesaji aneka hasil bumi. Meliputi sayuran dan buah-buahan. Bahkan ada yang melempar ayam atau kambing ke kawah.
Masyarakat adat Tengger meyakini menyerahkan hasil bumi sebagai ganti tumbal anak menurut legenda Joko Seger dan Roro Anteng. Mereka juga meyakini seserah sesaji ini dibalas dengan tanah subur, sehingga hasil pertanian melimpah.