Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Kasus Antasari</font><br />Antasari Terus Melawan

Mahkamah Agung berkukuh tiga hakim yang memutus kasus Antasari sudah bertindak benar. Mahkamah menolak menjatuhkan hukuman yang direkomendasikan Komisi Yudisial.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suparman Marzuki, ketua pengawasan hakim dan investigasi di Komisi Yudisial, kesal bukan kepalang. Tiga hakim yang diperiksanya memilih bungkam. Mereka tak bersedia menjawab pertanyaan yang diajukannya. Ketiganya hanya mengulang-ulang jawaban. "Itu sudah masuk teknis yudisial. Saya tidak bisa menjawabnya," demikian ujar Suparman, menirukan jawaban ketiga hakim itu kepada Tempo.

Pemeriksaan itu terjadi pada Juni lalu. Tiga hakim yang diperiksa adalah trio majelis hakim yang mengadili bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, yang didakwa terlibat pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran. Mereka adalah Herri Swantoro, Prasetyo Ibnu Asmara, dan Nugroho Setiadji. Dalam sidang Antasari, Herri, yang saat itu menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, juga bertindak sebagai ketua majelis hakim. Antasari pun divonis 18 tahun penjara.

Pemeriksaan di kantor Komisi Yudisial di kawasan Jalan Kramat Raya, Jakarta, tak dilakukan Suparman sendirian. Ia didampingi dua komisioner lain, Taufiqurrohman dan Jaja Ahmad Jayus, plus tiga tim ahli. Suparman mengaku heran atas sikap ketiga hakim yang keukeuh tak mau menjawab itu. "Padahal sebelumnya semua hakim yang kami periksa bersedia menjawab pertanyaan semacam itu," katanya.

Pertanyaan yang diajukan kepada ketiga hakim itu adalah alasan mereka mengabaikan fakta hukum dan alat bukti yang muncul dalam sidang Antasari. Menurut mereka, pertanyaan seperti ini merupakan teknis yudisial dan menjadi bagian dari independensi profesi hakim. Sedangkan para penanya menganggap pertanyaan itu perlu dijawab karena merupakan pokok permasalahan yang diadukan kubu Antasari kepada Komisi Yudisial. "Tak apa-apa kalau memilih tidak menjawab, tapi kerugian karena tidak mengklarifikasi ada di tangan mereka sendiri," ujar Suparman.

Pengaduan hakim kasus Antasari ini sebenarnya sudah masuk Komisi Yudisial sejak setahun silam. Komisi baru membuka pada April lalu, setelah mendengar keterangan pelapor, Antasari, yang diwakili pengacaranya, Maqdir Ismail. Sejumlah saksi yang kesaksiannya diabaikan juga dipanggil Komisi, di antaranya ahli forensik Mun’im Idris, ahli senjata Roy Haryanto, dan ahli balistik Maruli Simanjuntak. "Kami juga sudah meminta keterangan Antasari di penjara Tangerang," kata Wakil Ketua Komisi Imam Anshori Saleh.

l l l

Dua pekan lalu, setelah empat bulan bersidang, akhirnya rapat pleno Komisi Yudisial mengambil putusan: tiga hakim yang menangani kasus Antasari itu melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sanksi untuk mereka pun terbit, yakni selama enam bulan dilarang menyidangkan perkara apa pun, alias menjadi hakim non-palu.

Rapat pleno itu dihadiri tujuh komisioner. "Jalannya alot," ujar Imam. Dua komisioner mengeluarkan pendapat berbeda perihal sanksi yang akan dijatuhkan. Akhirnya, setelah voting, empat setuju dijatuhkannya hukuman kepada tiga hakim tersebut. Hasil keputusan rapat itu lalu dikirim ke Mahkamah Agung. Menurut Imam, hukuman enam bulan tak boleh memegang palu itu tergolong ringan untuk seorang hakim yang menyalahi kode etik.

l l l

Dalam penelisikan kasus ini, Komisi Yudisial tidak percaya pengabaian alat bukti yang ada di persidangan dikategorikan dalam kelalaian hakim. Suparman menilai ada yang tidak beres. "Sulit dipercaya ketiga hakim itu kompak lalai," katanya. Sebab, semua alat bukti yang dikesampingkan ini sudah terang-benderang pada saat persidangan berlangsung. "Jadi, dugaannya disengaja," ujar Suparman.

Temuan Komisi sejalan dengan dissenting opinion yang dinyatakan hakim agung Suryajaya dalam putusan kasasi Antasari. Suryajaya menilai ada kesalahan penerapan hukum yang dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yaitu pengesampingan keterangan ahli forensik, senjata, dan balistik. Ditambah lagi alat bukti yang ada di persidangan sama sekali tidak dipertimbangkan. "Seharusnya tidak mengesampingkan kesaksian itu, yang bisa menentukan pelaku sesungguhnya," ujar Surya dalam putusannya.

Dalam persidangan Antasari, Mun’im mengatakan, saat ia memeriksa jenazah Nasrudin, kondisinya dalam keadaan tidak asli: kepala sudah botak dan luka di kepala sudah dijahit. Padahal keberhasilan pengungkapan perkara itu bergantung pada keaslian barang bukti. Itu yang menjadi temuan pertama tim panel.

Fakta persidangan mengenai barang bukti senjata api dan peluru juga dipertanyakan. Hakim mengabaikan keterangan ahli senjata Roy Haryanto dan ahli balistik Maruli Simanjuntak. Keduanya mengatakan dua peluru 9 milimeter yang ditemukan di kepala korban tidak cocok dengan barang bukti senjata api, yaitu revolver kaliber 0,38 tipe S&W. Mereka menyebut peluru itu untuk senjata api jenis FN. "Alat bukti semacam ini jelas penting. Jadi kenapa harus diabaikan?" ujar Suparman.

Kendati Komisi Yudisial memutuskan tiga hakim ini mesti dihukum, Mahkamah Agung berpendapat lain. Menurut Ketua Mahkamah Harifin Tumpa, Komisi sudah masuk pada kewenangan hakim memutus perkara. Padahal hakim memiliki judicial immunity. Karena itulah Harifin menolak menghukum Herri, Prasetyo, dan Nugroho. "Apa yang diputuskan hakim berdasarkan keyakinannya tak bisa diganggu gugat," katanya.

Suparman tak setuju jika hakim memiliki kekebalan dalam memutus perkara. Menurut dia, independensi hakim mesti bisa dipertanggungjawabkan. Komisi berpendapat putusan hakim itu sebagai produk perilaku kekuasaan. "Itu yang kami sorot, sesuai dengan pedoman perilaku," katanya.

Ketiga hakim itu kini sudah berpencar-pencar. Nugroho kini masuk ke Pengadilan Tinggi Lampung. Prasetya menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tegal, dan Herri menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Bali.

Putusan Komisi Yudisial ini agaknya ikut mendorong Antasari melakukan perlawanan kembali, yakni melakukan upaya hukum terakhirnya: peninjauan kembali. Pekan lalu, berkas PK Antasari sudah dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk selanjutnya menuju Mahkamah Agung. "Ini saatnya menuntut keadilan," kata Maqdir.

Sandy Indra Pratama, Tri Suharman, Rusman P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus