Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua Paket untuk Senayan

Delapan nama calon pemimpin KPK sudah diserahkan ke DPR. Mereka dibagi dalam dua kelompok: calon yang sangat layak dipilih dan calon dengan sederet catatan hitam.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat itu digelar di lantai sepuluh Hotel Manhattan di bilangan Kuningan, Jakarta. Diselingi buka puasa dan salat tarawih, tiga belas anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melanjutkan tahapan penyaringan calon. Tiga jam sebelumnya, mereka baru merampungkan uji wawancara sepuluh nama tersisa.

Malam itu, Senin pekan lalu, mereka akan memilih delapan nama. Setumpuk dokumen ditelisik, di antaranya hasil wawancara, dokumen rekam jejak, dan laporan masyarakat. Empat jam kemudian, Panitia Seleksi sudah mengantongi calon pilihan. Dua nama dengan ranking terendah kami coret, kata sekretaris Panitia Seleksi, Ahmad Ubbe, kepada Tempo.

Kamis pekan lalu, delapan nama itu diserahkan ke Presiden. Mereka adalah penasihat KPK Abdullah Hehamahua, pengacara Abraham Samad, Deputi Pengawasan Internal KPK Handoyo Sudrajat, anggota Komisi Kepolisian Nasional Adnan Pandupradja, pengacara Bambang Widjojanto, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein, Staf Ahli Jaksa Agung Zulkarnain, serta penasihat Kapolri Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Aryanto Sutadi. Sedangkan dua yang terpental adalah asisten teknis Mahkamah Agung Egi Sutjiati dan dosen Universitas Syiah Kuala Aceh Sayid Fadhil.

Jumat pekan lalu delapan nama itu dikirim Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalani uji kelayakan. Dewan akan memilih separuh di antaranya untuk mendampingi Busyro Muqoddas sebagai pemimpin KPK. Menurut Undang-Undang KPK, Dewan diberi waktu tiga bulan untuk memilih pengganti empat pemimpin KPK yang masa jabatannya berakhir pada 18 Desember nanti.

l l l

Berbeda dengan penyaringan sebelumnya, kali ini, dalam penentuan akhir calon, Panitia Seleksi menggunakan metode ranking. Setiap calon ditakar kelaikannya berdasarkan integritas, kepemimpinan, kompetensi, dan independensi.

Setiap indikator diberi nilai satu sampai sepuluh. Guna mendukung sistem ranking itu, Panitia Seleksi menyertakan hasil rekam jejak sebagai bahan telaah Dewan. Ranking ini untuk mengukur calon yang pantas dipilih, kata anggota Panitia Seleksi, Rhenald Kasali. Ini juga alat kontrol bagi masyarakat.

Dari delapan itu, menurut Rhenald, Bambang Widjojanto menduduki peringkat pertama. Ia dinilai memenuhi semua kriteria. Posisi selanjutnya berturut-turut diisi Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudrajat. Empat nama ini berani kami rekomendasikan, kata Rhenald.

Di paket kedua, menurut Rhenald, empat calon dipilih lebih karena tuntutan Undang-Undang KPK. Karena kebutuhannya empat orang, menurut beleid itu, Panitia Seleksi harus memilih dua kali jumlah tersebut untuk dibawa ke Dewan. Berdasarkan ranking, Abraham Samad ada di posisi kelima. Posisi selanjutnya ditempati Zulkarnain, Adnan Pandupradja, dan Aryanto Sutadi.

Seorang anggota Panitia Seleksi menuturkan sejumlah poin yang membuat nilai empat nama di urutan terakhir itu jeblok. Abraham Samad, misalnya. Integritasnya, kata dia, diberi catatan. Panitia Seleksi memperoleh temuan ia pernah menerima fasilitas kantor dari Kalla setelah menangani perkara tanahnya. Kepada Panitia, Abraham mengatakan fasilitas itu dari keluarganya.

Panitia Seleksi juga menemukan isu tak sedap tentang Zulkarnain. Sebagian tuduhan ditanyakan pada saat wawancara. Ia, misalnya, dituding gemar membeli rumah setiap pindah tugas. Tuduhan lain, ia dianggap berkontribusi menghentikan perkara lumpur Lapindo saat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Zulkarnain membantah gemar membeli rumah. Tapi ia mengaku memiliki rumah lebih dari dua. Soal lumpur Lapindo, ia mengatakan tuduhan itu tak akurat.

Yang kini paling mendapat sorotan adalah calon yang bertengger di urutan buncit, Aryanto Sutadi. Panitia Seleksi, kata sumber itu, mendapat setumpuk laporan negatif untuk Deputi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional itu. Laporan rekam jejak, misalnya, menyebut ia pernah dilaporkan ke KPK dalam perkara pengalihan tanah PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten, yang merugikan negara Rp 17 miliar.

Namanya juga santer disebut terlibat proyek Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Di beberapa media, tersangka kasus wisma atlet Muhammad Nazaruddin mengaku telah menyuap petugas BPN Rp 5 miliar guna mengurus sengketa tanah itu. Urusan ini, menurut sumber Tempo di BPN, masuk satuan kerja yang dipimpin Aryanto. Selama di BPN, menurut laporan kekayaan versi KPK, dalam satu rekening Aryanto dan empat rekening istrinya, Hastuti Suprihatin, ada transaksi menyimpang dari profil.

Sumber yang sebelumnya pernah menyeleksi calon pemimpin KPK ini mengakui ia juga menerima catatan buruk Aryanto selama di kepolisian dari laporan seorang brigadir jenderal. Ketika menjabat Direktur Kejahatan Narkoba Bareskrim Polri pada 2004, misalnya, Aryanto disebut pernah memeras bandar kakap narkoba senilai Rp 3 miliar.

Saat wawancara, sebagian tuduhan diklarifikasi ke Aryanto. Soal Hambalang, misalnya. Menurut Aryanto, sengketa itu terjadi sebelum ia masuk BPN. Soal rekening istrinya, ia mengaku tak tahu-menahu. Ia mengaku punya sembilan rekening senilai Rp 5 miliar dari usaha mendirikan law firm. Soal pemerasan, katanya, tuduhan itu tidak pernah terbukti.

Kendati dibantah Aryanto, sejumlah tuduhan itu menjadi poin buruk di mata Panitia Seleksi. Saat wawancara, Aryanto bahkan mengaku selama di kepolisian kerap menerima pemberian sebagai ucapan terima kasih dari kolega yang telah dibantu sengketa hukumnya. Ia berdalih, saat itu belum ada aturan gratifikasi. Tidak baik menolak meski cuma setandan pisang.

Menurut sumber itu, terjadi debat alot dalam menilai kelaikan Aryanto. Ada kubu yang menilai ia layak dicoret karena punya segudang tuduhan miring dan terkesan menoleransi gratifikasi. Ada juga yang membela Aryanto. Dalilnya, surat balasan Kapolri atas permintaan klarifikasi Panitia Seleksi untuk kasus yang membelit Aryanto. Menurut surat itu, katanya, kasus yang dituduhkan ke Aryanto sudah selesai. Ini yang membuat ia tidak terpental, ujarnya.

Pilihan mencoret jatuh pada Egi dan Sayid. Menurut dokumen rapat Panitia Seleksi, saat wawancara Egi dinilai berbohong soal pemecatannya dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kepada Panitia, Egi mengaku tidak tahu dan tak pernah mendapat surat pemecatan. Lucunya, Panitia Seleksi sebenarnya mengantongi surat itu. Sedangkan Sayid terpental karena dinilai hanya mengejar karier. Egi dan Sayid pasrah karena tidak ngotot menjadi pemimpin KPK.

l l l

Sejumlah fraksi di Komisi Hukum sudah memasang kuda-kuda untuk segera membahas delapan nama itu. Beberapa anggota fraksi bahkan sudah menggadang-gadang nama. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Demokrat, Didi Irawadi, misalnya, mengaku kesengsem dengan Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Handoyo Sudrajat, dan Abraham Samad. Mereka tim yang diharapkan, katanya.

Menurut anggota Komisi Hukum dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, idealnya dari empat nama itu ada unsur polisi dan jaksa. Alasan Ahmad, dua calon dari unsur itu memahami teknis hukum. Namun, kata dia, karena hasil Panitia Seleksi calon dari polisi dan jaksa buruk, pihaknya akan melakukan seleksi secara hati-hati. Hasilnya nanti bisa sama atau berbeda dengan Panitia Seleksi.

Menurut sumber Tempo di Komisi Hukum, ketika pemilihan di Dewan, lobi politik menjadi dominan. Bukan lagi integritas dan kompetensi. Dari pengalaman, kata dia, selalu ada dua kubu saat pemilihan, fraksi koalisi dan fraksi oposisi. Kubu koalisi, ujarnya, cenderung menjagokan jaksa dan polisi. Apalagi, kata dia, jika institusinya mendukung pencalonan mereka. Calon berlatar belakang pejabat negara, ujarnya, juga akan didukung kubu koalisi. Adapun kubu oposisi sebaliknya. Tapi semua tergantung negosiasi.

Ahmad Yani menilai tudingan itu tergesa-gesa. Menurut dia, komisinya akan memilih tim yang bisa menciptakan orkestra dalam pemberantasan korupsi. Punya integritas, kata dia, tapi tidak menutup diri bergaul dengan mitra. Jangan diam-diam tapi ketemu orang tersangkut perkara, katanya.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo berharap DPR bisa menerima hasil Panitia Seleksi dengan obyektif. Ia meminta Dewan memprioritaskan aspek kompetensi dan integritas. Jangan politik yang menjadi panglima.

Anton Aprianto, Eko Ari Wibowo, Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus