Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Anak-anak Meiliana Trauma Bertemu Orang Banyak

Pengacara mengatakan anak-anak Meiliana trauma bertemu dengan orang banyak.

24 Agustus 2018 | 17.53 WIB

Dua wihara dan lima kelenteng yang terletak di wilayah Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, dibakar oleh sekelompok massa 29 Juli 2016 (Foto: Istimewa)
Perbesar
Dua wihara dan lima kelenteng yang terletak di wilayah Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, dibakar oleh sekelompok massa 29 Juli 2016 (Foto: Istimewa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga Meiliana mengalami depresi berat seusai kejadian yang menimpa mereka di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada 29 Juli 2016 lalu. Kala itu, sekelompok massa mencoba membakar rumah Meiliana, yang mengingatkan tentang kencangnya suara azan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Iya, mereka menutupi identitasnya. Bahkan sepanjang persidangan, anak-anak sengaja tidak dibawa ke persidangan," kata pengacara Meiliana, Ranto Sibarani, saat dijumpai Tempo di kantornya, Jumat, 24 Agustus 2018.

Ranto mengatakan anak-anak Meiliana mengalami trauma dan takut bertemu dengan orang ramai. Apalagi banyak orang yang memperlihatkan kebencian kepada sang ibu selama persidangan.

Anak tertua Meiliana, kata Ranto, bahkan berencana mengambil jurusan hukum di universitas nanti. "Anaknya bertekad belajar hukum dan ingin menjadi pengacara bagi orang-orang lemah", ujarnya.

Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara untuk Meiliana pada Selasa, 21 Agustus 2018. Majelis hakim, yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo, menyatakan Meiliana terbukti melanggar Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal ini berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500."

Kasus Meiliana berawal saat ia bertanya tentang suara azan di masjid dekat rumahnya, yang dinilainya terlalu keras. Sejumlah kelompok masyarakat kemudian menuding Meiliana menghina Islam dengan melarang azan.

Meski di persidangan bukti-bukti Meiliana pernah melarang azan tidak bisa dihadirkan, hakim tetap menyatakan Meiliana bersalah dalam kasus penistaan agama ini.

"Hanya karena mengeluh suara azan dirasakannya terlalu kuat saat itu, Meiliana harus menjalani hukuman. Memang dia sempat menyinggung soal suara azan, tapi tidak pernah melarang azan berkumandang. Itu dua hal yang berbeda," ucap Kamaluddin Pane, kuasa hukum Meiliana.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus