Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membantah Badan Intelijen Negara (BIN) kecolongan dalam menghadapi serangan teroris. Menurut dia, teror terjadi lantaran pelaku menggunakan metode kerja baru sehingga sulit dideteksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko mencontohkan pengeboman tiga gereja di Surabaya yang dilakukan satu keluarga. "Kalau itu dimunculkan dari satu keluarga, sel-sel itu dalam satu keluarga. Dia tidak perlu menggunakan alat-alat komunikasi sehingga sulit dideteksi," ujar Moeldoko di Kantor Wakil Presiden, Rabu, 16 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu menuturkan perencanaan teror dalam keluarga bisa dengan mudah dilakukan di rumah. "Cukup berbisik-bisik di rumah," ucapnya.
Lain halnya jika pelaku teror tersebar di beberapa tempat. Komunikasi mereka lewat beragam alat bisa dideteksi aparat keamanan dengan lebih mudah.
Selain komunikasi, Moeldoko mencatat metode baru saat eksekusi. "Metodenya masuk ke markas, distop langsung meledak," katanya. Menurut dia, cara ini harus diantisipasi. Aparat keamanan diminta waspada.
Dalam sepekan terakhir, rentetan serangan teror terjadi di Indonesia. Serangan pertama berupa pengeboman tiga gereja di Surabaya pada Ahad, 13 Mei 2018. Sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan empat anak menyebar ke tiga lokasi, yakni Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, Gereja Santa Maria Ngagel, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno, untuk meledakkan diri
Sehari setelah bom bunuh diri tersebut, beberapa ledakan terdengar dari salah satu rumah di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Ledakan itu mengakibatkan tiga orang mengalami luka-luka.
Hari ini, teror kembali terjadi. Markas Kepolisian Daerah Riau diserang empat orang pada Rabu pagi, 16 Mei 2018. Satu polisi Ipda Auzar dilaporkan meninggal setelah ditabrak mobil yang dikendarai teroris.