Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri terus menindak penambang ilegal dalam kasus penambangan nikel ilegal PT Antam Tbk. Hal ini dilakukan usai Kejaksaan Negeri Sulawesi Tenggara menetapkan General Manager PT Antam Tbk UPBN Konawe Utara sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika ditanya kenapa Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim tidak mengusut kasus tersebut, Wakil Direktur Tindak Pidana Tertentu Komisaris Besar Nunung Syaifuddin mengatakan penindakan terhadap pejabat PT Antam Tbk UPBN Konawe Utara bukan di ranah Dittipidter, tetapi tindak pidana korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga kita tidak fokus kepada hal tersebut. Namun kita pada penambangan ilegalnya, termasuk terkait dokumen pendukungnya,” kata Nunung kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2023.
Adapun untuk pelaku penambangan ilegal di blok Antam, Nunung menuturkan Dittipidter Bareskrim Polri sudah melakukan penindakan. “Ada sekitar 4-5 laporan polisi dan sudah kami tindak lanjuti,” ujarnya.
Senin kemarin, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tetapkan tiga tersangka dalam kasus pertambangan nikel di wilayah IUP PT Antam di Kabupaten Konawe Utara. Mereka adalah HA selaku Manajer PT Antam UPBN Konawe Utara, GL selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining (LAM), dan AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Prathama (KKP).
Ketiganya ditahan terkait operasi kerja sama antara PT Antam dengan PT Lawu yang melakukan kerja sama penambangan di areal seluas 22 hektar di wilayah IUP PT Antam. Namun ternyata hanya sebagian kecil hasil tambang nikel yang diserahkan ke PT Antam. Sisanya, dijual kepada smelter lain dengan mengunakan dokumen palsu atau istilahnya dokumen terbang (dokter) dari PT KKP dan beberapa perusahaan tambang lainnya.
Berdasarkan investigasi majalah Tempo, penambang nikel di Blok Mandiodo adalah kontraktor yang mendapat surat perintah kerja dari PT Lawu Agung Mining. PT Lawu adalah perusahaan yang menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan PT Antam untuk mengeruk nikel di Blok Mandiodo, Tapuemea, dan Tapunggaya. Untuk eksploitasi, perusahaan ini berkongsi dengan perusahaan daerah Sulawesi Tenggara. Dalam dokumen KSO pada
22 Desember 2021, Antam menugasi PT Lawu mengeruk 7,8 juta ton tanah seluas 3.400 hektare di blok itu selama tiga tahun.
PT Lawu lantas menunjuk 11 kontraktor untuk menambang nikel di Blok Mandiodo. Salah satunya PT Piramida Ore Mineral. Rahmat Jaya Rahman, Komisaris Utama PT Piramida, mengakui perusahaannya mendapat kontrak penambangan nikel dari PT Lawu di area penggunaan lain (APL) eks wilayah konsesi PT Hafar Indotech.
Kepala Divisi Sekretariat Perusahaan PT Antam, Syarif Faisal Alkadrie, mengatakan perusahaannya dan perusahaan yang menjalin KSO telah mengantongi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tapi lokasinya berada di luar kawasan hutan sehingga tak memerlukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Menteri Energi Arifin Tasrif membenarkan BUMN tambang itu memiliki RKAB pada 2022.
Investigasi Tempo juga mendapati hasil tambang nikel ilegal itu "dicuci" sebelum dijual sehingga seolah-olah berasal dari penambangan legal. Penambang legal memakai dokumen perusahaan pemegang IUP di Konawe Utara yang memiliki izin lengkap, baik RKAB maupun IPPKH, lalu mengirim nikel itu ke smelter. Ada dua smelter penerima nikel Blok Mandiodo, yakni PT Obsidian Stainless Steel di Morosi, Sulawesi Tenggara, dan PT Indonesia Rupu Nickel and Chrome Alloy di kompleks Indonesia Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah.
EKA YUDHA SAPUTRA | ANDI ADAM FATURAHMAN | ERMAN HERMAWAN | MAJALAJ TEMPO