ENTAH polisi salah tangkap, atau karena jaksa tak mampu
membuktikannya, tapi Barkati dan Hasan kini bebas.
Berturut-turut, akhir Januari dan Februari lalu, pengadilan di
Amuntai membebaskan mereka dari tuduhan dan tuntutan jaksa.
Bebas murni! Melegakan, namun juga membangkitkan pikiran
Barkati: Ia ingin menuntut keadilan bagi penderitaannya selama
dalam tahanan dan perlakuan polisi yang memeriksanya dengan
kekerasan.
Ceritanya memang runyam. Dimulai dari ditemukannya mayat
Hormansyah, jurubayar gaji guru agama pada Kantor Dept. Agama
Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kal-Sel), terapung di bawah
Jembatan Paliwara, Amuntai 2 Februari 1976. Diduga keras
motifnya perampokan. Sebab sejumlah uang, Rp 2 juta lebih, yang
baru saja diambil korban dari kantorpos tak turut ditemukan.
Beberapa hari kemudian polisi menangkap 4 orang tersangka. Tapi
segera dibebaskan setelah ternyata tak cukup bukti. Sesudah itu
polisi tak mendapat petunjuk. Orang Amuntai pun barangkali sudah
melupakan kematian Hormansyah.
Mimin & Winda
Sampai dua tahun kemudian. Polisi menangkap seorang pencuri
bernama Hasan Pencuri kecil ini, pembantu rumahtangga Bupati
Amuntai Bihman Villa (sekarang almarhum), dituduh mencuri sapi
majikannya. Dari Hasan inilah perkara perampokan jurubayar dua
tahun sebelumnya terbuka kembali.
Dalam pemeriksaan polisi, entah bagaimana prosesnya, Hasan
membelit orang lain bernama Barkati. Orang itu, katanya,
pembunuh Hormansyah. Buktinya: arloji merk Orient yang dipakai
Barkati adalah yang diambil dari pergelangan tangan Hormansyah.
Dan lebih-lebih lagi Hasan sendiri, begitu menurut pemeriksaan
polisi, mengaku turut terlibat dalam peristiwa Hormansyah
Tak sulit mencari Barkati. Polisi menangkapnya di pasar, 1
Februari dua tahun lalu, ketika ia bermaksud mereparasi arloji
Orientnya. Tentang Barkati dan Hasan sendiri tidak begitu
mengundang perhatian walaupun mereka menyebut nama orang lain,
Husin, sebagai pelaku utama kejahatan.
Yang menarik, seperti disebutkan dalam berita-acara pemeriksaan
polisi, mereka melibat Mimin dan Winda yang dua-duanya adalah
putra Bupati Bihman. Bahkan, kata mereka, bupati sendiri
sebenarnya juga tahu peristiwa Hormansyah. Buktinya? Barkati dan
Hasan menyebutkan: sepatu milik korhan, potongan kayu yang
digunakan untuk menghabisi korban dan tetesan darah di kursi
rotan yang semuanya masih ada di rumah Bihman. Benar, walaupun
peristiwa telah berselang dua tahun, polisi masih dapat
mengumpulkan "bukti-bukti" seperti ditunjuk tersangka.
Perkara Hormansyah dibuka dalam tiga berkas perkara yang
diajukan kejaksaan secara terpisah: masing-masing untuk Hasan
dan Barkati serta sebuah untuk kakak beradik Mimin dan Winda.
Perkara ketiga, Mimin dan Winda, tiba-tiba dihentikan di tengah
jalan -- pengadilan menunda pemeriksaannya. Kedua tertuduh
terakhir ini juga dibebaskan dari tahanan sementara. Alasannya
tak diumumkan.
Sedangkan perkara Hasan dan Barkati berjalan cukup panjang (22
kali sidang yang dimulai Juli 1978 hingga Februari lalu). Pada
mulanya para tertuduh saling mengakui kebenaran berita-acara
pemeriksaan pendahuluan. Tapi begitu Jaksa Erfan -- yang
pertama membawa mereka ke pengadilan -- digantikan Jaksa Masran,
pengadilan jadi runyam kedua tertuduh tiba-tiba memungkiri
pengakuan terdahulu. Di luar sidang keduanya menyebutkan
pemungkiran mereka itu disebabkan tak ada lagi yang menjanjikan
keringanan hukuman. Di muka hakim mereka mengatakan, pengakuan
kepada polisi diberikan karena pemeriksaan dilakukan dengan
kekerasan, juga penganiayaan. Misalnya, katanya, mereka
ditanyai sambil jari kaki dijepit dengan kaki kursi.
Pembuktian jaksa juga kurang meyakinkan. Misalnya: Mardiana,
istri almarhum Hormansyah, tak yakin sepatu yany ditemukan di
rumah bupati adalah milik suaminya. Arloji milik almarhum,
katanya, juga bukan Orient seperti yang diambil dari tangan
Barkati dan diajukan sebagai barang bukti. Nyonya ini yakin
jam tangan milik almarhum dulu adalah Rado. Jaksa sendiri juga
tak mampu membuktikan: adakah bercak darah di kursi milik Bihman
adalah darah manusia dan berasal dari tubuh Hormansyah?
Kesaksian juga lemah. Bupati Bihman yang pada mulanya ditunjuk
ikut terlibat, pada 1977 meninggal dunia sebelum perkara muncul
di pengadilan. Husin, yang dituduh sebagai pelaku utama, juga
tak mungkin dihadirkan baik sebagai saksi apalagi terdakwa. Ia
ditemukan mati terapung di kali setahun yang lalu.
Mengapa ia mati juga tak pernah terungkap. Namun baginya ada
kesaksian lain yang "menguntungkan". Kepala penjara Amuntai
menyatakan demikian: ketika Hormansyah ditemukan mati Husin
masih berada di penjara untuk menyelesaikan masa hukumannya yang
5 bulan penjara karena mencuri.
Jaksa juga tak bisa mengajukan orang yang bernama Syawal.
Pengadilan sudah berkali-kali meminta orang ini, yang katanya
turut terlibat, agar ditampilkan. Tapi dari mana jaksa akan
memperoleh Syawal yang tak diketahui tempat tinggalnya dan
siapa ia sebenarnya.
Kendati demikian jaksa masih juga menuntut hukuman bagi
terdakwanya. Pengadilan diminta agar menghukum Barkati 4 tahun
penjara dan 2 tahun 3 bulan bagi Hasan. Keduanya, katanya, harus
dianggap terbukti "turut membantu" terjadinya sesuatu kejahatan.
Namun hakim merasa lebih baik membebaskan para terdakwa dari
tuduhan dan tuntutan hukum jaksa. Pertimbangannya, tentu saja,
karena pembuktian tak cukup meyakinkan. Itu sesuai dengan
pleidoi yang diajukan tim pembela dari Fak. Hukum Univ.
Lambungmangkurat (Banjarmasin).
Akan halnya Mimin dan Winda, menurut rencana, akan diselesaikan
April di muka ini. Apa yang akan terjadi sudah banyak yang
menebak -- setelah memperhatikan penyelesaian perkara terdahulu.
Apalagi kesaksian bagi Mimin, Ketua DPC (pimpinan cabang) KNPI
Hulu Sungai Utara dan Anggota DPID (F-KP) juga sudah terlihat
menguntungkannya DPD (pimpinan daerah) KNPI Kal-Sel misalnya
menyatukan Mimin sedang mengikuti Musda (musyawarah daerah)
KNPI di Banjarmasin ketika Hormansyah terbunuh.
Apalagi baik Winda maupun Mimin dapat mengatakan begini: "Jika
motif pembunuhan hanya soal uang Rp 2 juta, maaf, selain kami
sudah bekerja dan cukup uang, ayah ketika itu masih jadi bupati
.... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini