Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Si Pencuri Sapi

Tertuduh sebagai pembunuh, barakti dan hasan dibebaskan dari tuduhan dan tuntutan jaksa, dua anak bupati bihman ikut tersangkut (hk)

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH polisi salah tangkap, atau karena jaksa tak mampu membuktikannya, tapi Barkati dan Hasan kini bebas. Berturut-turut, akhir Januari dan Februari lalu, pengadilan di Amuntai membebaskan mereka dari tuduhan dan tuntutan jaksa. Bebas murni! Melegakan, namun juga membangkitkan pikiran Barkati: Ia ingin menuntut keadilan bagi penderitaannya selama dalam tahanan dan perlakuan polisi yang memeriksanya dengan kekerasan. Ceritanya memang runyam. Dimulai dari ditemukannya mayat Hormansyah, jurubayar gaji guru agama pada Kantor Dept. Agama Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kal-Sel), terapung di bawah Jembatan Paliwara, Amuntai 2 Februari 1976. Diduga keras motifnya perampokan. Sebab sejumlah uang, Rp 2 juta lebih, yang baru saja diambil korban dari kantorpos tak turut ditemukan. Beberapa hari kemudian polisi menangkap 4 orang tersangka. Tapi segera dibebaskan setelah ternyata tak cukup bukti. Sesudah itu polisi tak mendapat petunjuk. Orang Amuntai pun barangkali sudah melupakan kematian Hormansyah. Mimin & Winda Sampai dua tahun kemudian. Polisi menangkap seorang pencuri bernama Hasan Pencuri kecil ini, pembantu rumahtangga Bupati Amuntai Bihman Villa (sekarang almarhum), dituduh mencuri sapi majikannya. Dari Hasan inilah perkara perampokan jurubayar dua tahun sebelumnya terbuka kembali. Dalam pemeriksaan polisi, entah bagaimana prosesnya, Hasan membelit orang lain bernama Barkati. Orang itu, katanya, pembunuh Hormansyah. Buktinya: arloji merk Orient yang dipakai Barkati adalah yang diambil dari pergelangan tangan Hormansyah. Dan lebih-lebih lagi Hasan sendiri, begitu menurut pemeriksaan polisi, mengaku turut terlibat dalam peristiwa Hormansyah Tak sulit mencari Barkati. Polisi menangkapnya di pasar, 1 Februari dua tahun lalu, ketika ia bermaksud mereparasi arloji Orientnya. Tentang Barkati dan Hasan sendiri tidak begitu mengundang perhatian walaupun mereka menyebut nama orang lain, Husin, sebagai pelaku utama kejahatan. Yang menarik, seperti disebutkan dalam berita-acara pemeriksaan polisi, mereka melibat Mimin dan Winda yang dua-duanya adalah putra Bupati Bihman. Bahkan, kata mereka, bupati sendiri sebenarnya juga tahu peristiwa Hormansyah. Buktinya? Barkati dan Hasan menyebutkan: sepatu milik korhan, potongan kayu yang digunakan untuk menghabisi korban dan tetesan darah di kursi rotan yang semuanya masih ada di rumah Bihman. Benar, walaupun peristiwa telah berselang dua tahun, polisi masih dapat mengumpulkan "bukti-bukti" seperti ditunjuk tersangka. Perkara Hormansyah dibuka dalam tiga berkas perkara yang diajukan kejaksaan secara terpisah: masing-masing untuk Hasan dan Barkati serta sebuah untuk kakak beradik Mimin dan Winda. Perkara ketiga, Mimin dan Winda, tiba-tiba dihentikan di tengah jalan -- pengadilan menunda pemeriksaannya. Kedua tertuduh terakhir ini juga dibebaskan dari tahanan sementara. Alasannya tak diumumkan. Sedangkan perkara Hasan dan Barkati berjalan cukup panjang (22 kali sidang yang dimulai Juli 1978 hingga Februari lalu). Pada mulanya para tertuduh saling mengakui kebenaran berita-acara pemeriksaan pendahuluan. Tapi begitu Jaksa Erfan -- yang pertama membawa mereka ke pengadilan -- digantikan Jaksa Masran, pengadilan jadi runyam kedua tertuduh tiba-tiba memungkiri pengakuan terdahulu. Di luar sidang keduanya menyebutkan pemungkiran mereka itu disebabkan tak ada lagi yang menjanjikan keringanan hukuman. Di muka hakim mereka mengatakan, pengakuan kepada polisi diberikan karena pemeriksaan dilakukan dengan kekerasan, juga penganiayaan. Misalnya, katanya, mereka ditanyai sambil jari kaki dijepit dengan kaki kursi. Pembuktian jaksa juga kurang meyakinkan. Misalnya: Mardiana, istri almarhum Hormansyah, tak yakin sepatu yany ditemukan di rumah bupati adalah milik suaminya. Arloji milik almarhum, katanya, juga bukan Orient seperti yang diambil dari tangan Barkati dan diajukan sebagai barang bukti. Nyonya ini yakin jam tangan milik almarhum dulu adalah Rado. Jaksa sendiri juga tak mampu membuktikan: adakah bercak darah di kursi milik Bihman adalah darah manusia dan berasal dari tubuh Hormansyah? Kesaksian juga lemah. Bupati Bihman yang pada mulanya ditunjuk ikut terlibat, pada 1977 meninggal dunia sebelum perkara muncul di pengadilan. Husin, yang dituduh sebagai pelaku utama, juga tak mungkin dihadirkan baik sebagai saksi apalagi terdakwa. Ia ditemukan mati terapung di kali setahun yang lalu. Mengapa ia mati juga tak pernah terungkap. Namun baginya ada kesaksian lain yang "menguntungkan". Kepala penjara Amuntai menyatakan demikian: ketika Hormansyah ditemukan mati Husin masih berada di penjara untuk menyelesaikan masa hukumannya yang 5 bulan penjara karena mencuri. Jaksa juga tak bisa mengajukan orang yang bernama Syawal. Pengadilan sudah berkali-kali meminta orang ini, yang katanya turut terlibat, agar ditampilkan. Tapi dari mana jaksa akan memperoleh Syawal yang tak diketahui tempat tinggalnya dan siapa ia sebenarnya. Kendati demikian jaksa masih juga menuntut hukuman bagi terdakwanya. Pengadilan diminta agar menghukum Barkati 4 tahun penjara dan 2 tahun 3 bulan bagi Hasan. Keduanya, katanya, harus dianggap terbukti "turut membantu" terjadinya sesuatu kejahatan. Namun hakim merasa lebih baik membebaskan para terdakwa dari tuduhan dan tuntutan hukum jaksa. Pertimbangannya, tentu saja, karena pembuktian tak cukup meyakinkan. Itu sesuai dengan pleidoi yang diajukan tim pembela dari Fak. Hukum Univ. Lambungmangkurat (Banjarmasin). Akan halnya Mimin dan Winda, menurut rencana, akan diselesaikan April di muka ini. Apa yang akan terjadi sudah banyak yang menebak -- setelah memperhatikan penyelesaian perkara terdahulu. Apalagi kesaksian bagi Mimin, Ketua DPC (pimpinan cabang) KNPI Hulu Sungai Utara dan Anggota DPID (F-KP) juga sudah terlihat menguntungkannya DPD (pimpinan daerah) KNPI Kal-Sel misalnya menyatukan Mimin sedang mengikuti Musda (musyawarah daerah) KNPI di Banjarmasin ketika Hormansyah terbunuh. Apalagi baik Winda maupun Mimin dapat mengatakan begini: "Jika motif pembunuhan hanya soal uang Rp 2 juta, maaf, selain kami sudah bekerja dan cukup uang, ayah ketika itu masih jadi bupati .... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus