Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengadilan banding memutuskan beberapa aset Rafael Alun dikembalikan.
KPK meyakini seluruh aset Rafael Alun yang disita adalah hasil korupsi.
KPK mengajukan kasasi atas keputusan pengadilan tingkat banding.
HAKIM Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan tak semua aset keluarga Rafael Alun Trisambodo merupakan hasil korupsi dan gratifikasi selama menjadi pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Dalam putusan pada 7 Maret 2024, hakim banding menyatakan rumah di Simprug Golf, Jakarta Selatan, seharga Rp 5,75 miliar milik Ernie Meike, istri Rafael.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas putusan hakim banding itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan banding. KPK yakin semua aset Rafael Alun Trisambodo yang telah disita dan dijadikan barang bukti di pengadilan merupakan hasil korupsi. Karena itu, semua aset tersebut harus dikembalikan kepada negara melalui asset recovery. “Tim jaksa tetap yakin beberapa aset dalam putusan sebelumnya adalah hasil korupsi yang dilakukan terdakwa,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri pada Kamis lalu, 28 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali Fikri merujuk pada pertimbangan putusan majelis hakim tingkat pertama yang menegaskan bahwa seluruh aset yang dimiliki Rafael Alun terbukti hasil korupsi. “Namun, dalam pertimbangan status barang bukti, hakim banding menilai dikembalikan kepada terdakwa,” kata Ali. “Sehingga terjadi inkonsistensi dalam poin amar putusan.”
Terdakwa Rafael Alun Trisambodo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 8 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Rafael Alun Trisambodo menjadi tersangka dugaan gratifikasi pada 30 Maret 2023. Adapun dugaan korupsi itu terjadi selama 12 tahun terakhir masa kerjanya di Kementerian Keuangan.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama, majelis hakim menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Rafael. Ia juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Selain itu, Rafael dikenakan pidana tambahan berupa keharusan membayar uang pengganti sebesar Rp 10,079 miliar dalam kurun satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Pada tingkat banding, majelis hakim menguatkan putusan itu. Namun hakim banding menilai barang bukti perkara gratifikasi nomor 552 yang masuk barang bukti tindak pidana pencucian uang (TPPU) nomor 412 bukan milik Rafael. Aset itu berupa rumah di Jalan Simprug Golf XIII Nomor 29, RT 02 RW 08, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Berdasarkan sertifikat hak milik, kata hakim, rumah tersebut atas nama Ernie Meike, istri Rafael Alun.
Dalam berkas tuntutan jaksa, rumah di Simprug Golf tersebut sebelumnya dimiliki Grace Dewi Riady alias Grace Tahir. Menurut jaksa, Rafael seakan-akan membeli tanah dan rumah seluas 765 meter persegi seharga Rp 5,75 miliar itu atas nama istirnya. Pembelian ini, dalam penilaian jaksa, patut diduga masuk tindak pidana pencucian uang. “Menjadi komitmen KPK agar aset-aset yang berasal dari hasil korupsi ataupun TPPU dikembalikan kepada negara,” kata Ali.
Junaedi Saibih, pengacara Rafael, menyatakan vonis 14 tahun penjara kepada kliennya itu tidak adil. Sebab, jaksa tak bisa membuktikan semua dakwaan selama persidangan. Harta kliennya yang disita, kata Junaedi, juga tidak menunjukkan hubungan dengan perbuatan gratifikasi yang dituduhkan kepada Rafael. “Harta tersebut sudah dilaporkan dalam tax amnesty, yang seharusnya tidak boleh dilakukan penuntutan atas pidana apa pun, termasuk pajak,” kata Junaedi. “Karena penuntutan tersebut bertentangan dengan larangan pemberlakuan penghukuman berganda.”
Menurut Junaedi, sejumlah harta yang disita jaksa merupakan harta bersama para ahli waris dari Irene Suheriani Suparman, ibu Rafael. Bahkan Rafael masih memiliki utang Rp 3,5 miliar kepada Irene, yang disaksikan oleh kedua saudaranya. Fakta ini menunjukkan, kata Junaedi, berbagai harta yang disita termasuk non-executable, karena masih ada hak para ahli waris.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan KPK harus memiliki argumen yang jelas agar harta Rafael yang disita bisa dikembalikan ke negara. Argumen KPK itu, kata Yenti, juga mesti diperkuat dengan bukti-bukti yang menunjukkan aset tersebut memang berasal dari korupsi atau pencucian uang.
Menurut Yenti, dua tindak pidana itu biasanya memang berjalan paralel. Dengan begitu, kata dia, pelacakan aliran uang sampai perubahan dalam bentuk aset harus ditelusuri secara tuntas. “Jaksa KPK harus menerangkan semuanya bahwa rumah yang disita adalah penyitaan korupsi atau penyitaan TPPU,” katanya.
Sebaliknya, dalam pembuktian pidana pencucian uang, terdakwa memiliki kesempatan membuktikan bahwa aset yang disita aparatur hukum itu bukan hasil kejahatan. Caranya melalui pembuktian terbalik. “Setelah itu, Mahkamah Agung yang memutuskan negara harus merampas aset itu atau tidak,” kata Yenti.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo