Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Bakti Kominfo), Anang Achmad Latif, menjalani sidang perdana kasus korupsi BTS (Base Transciever reciever) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 27 Juni 2023. Jaksa menuding Anang bersekongkol dengan para tersangka lainnya dalam memilih pemenang lelang proyek menara BTS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan Anang memerintahkan Yohan Suryanto, tenaga ahli dari Human Development Universitas Indonesia, membuat Kajian Teknis Pendukung Lastmile Project 2021, antara lain Owner Estimate (OE) untuk proyek penyediaan Infrastruktur BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung pada 2021-2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kajian ini berdasarkan data yang bersumber dari para calon penyedia yang akhirnya menjadi pemenang lelang tanpa disertai dengan kajian yang mendalam, antara lain tidak melakukan survei harga pasar,” kata jaksa saat membacakan dakwaannya.
Kajian ini yang dijadikan dasar acuan untuk membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) oleh Elvanno Hatorangan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Yohan, menurut jaksa, memasukkan daftar nama-nama tenaga ahli yang dilampirkan dalam dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) pada pekerjaan penyusunan Kajian Teknis Pendukung Lastmile Project 2021 tanpa sepengetahuan tenaga ahli yang namanya dicantumkan dalam dokumen tersebut.
“Hal ini hanya bersifat formalitas untuk memenuhi persyaratan administrasi bagi Yohan Suryanto agar dapat melaksanakan pekerjaan Kajian Teknis Pendukung Lastmile Project 2021 pada BAKTI,” kata jaksa.
Anang disebut menggelar pertemuan dengan para tersangka lainnya
Selain itu, jaksa juga menyebut Anang Achmad Latif sempat menggelar sejumlah pertemuan bersama Yohan, dan tiga tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah: Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak, Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan , dan Account Director PT Hueawei Tech Investment Mukti Ali.
Pertemuan itu, disebut untuk menentukan pelaksana pekerjaan. Selain itu, jaksa menyatakan pertemuan itu juga dilakukan untuk mengatur persyaratan pemilihan penyedia barang. Antara lain dengan memasukkan persyaratan Owner Teknologi, Lisensi Jaringan Tertutup, dan Kemitraan.
Tujuannya, kata jaksa, untuk membatasi peserta lelang dan memenangkan calon penyedia yang telah disiapkan. Perusahaan yang disiapkan mereka, antara lain PT.Telkominfra, PT. Multi Trans Data (MTD), Fiberhome, PT. Lintas Arta, PT. Huawei, PT. Surya Energy Indotama (PT.SEI), PT. Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan PT. ZTE Indonesia.
“Padahal persyaratan tersebut tidak ada kajian teknisnya,” ujar jaksa.
Selanjutnya, siasat dalam proses prakualifikasi
Anang, dalam dakwaan itu juga disebut meminta Gumala Warman selaku ketua Pokja pemilihan untuk tidak menggunakan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)/ARIBA dalam melakukan evaluasi dan klarifikasi. Sistem ini mewajibkan peserta lelang mengajukan dokumen penawaran secara manual untuk prakualifikasi, sebab, perusahaan-perusahaan yang akan menjadi konsorsium belum ditentukan pasangan kemitraannya.
Kemudian, Anang bersama Galumbang Menak Simanjuntak, Irwan, dan Mukti Ali, menentukan kriteria pemilihan penyedia yang mengarah pada penyedia tertentu. Penyedia yang sudah dirembuk ini kemudian menjadi pemenang konsorsium proyek. Mereka adalah konsorsium Fiber Home, PT. Telkominfra dan PT. Multi Trans Data (PT.MTD) untuk Paket 1 dan 2. Kemudian, konsorsium PT. Lintas Arta, PT. Huawei dan PT. Surya Enenrgy Indotama (SEI) untuk Paket 3. Lalu, konsorsium PT. Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan PT. ZTE Indonesia untuk Paket 4, 5.
“Anang Achmad Latif juga memerintahkan Feriandi Mirza untuk menyiapkan tim bayangan yang terdiri dari Gandi, Avrinson, Maryulis, Edy, untuk memastikan Pokja melaksanakan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya,” kata jaksa.
Untuk melegalkan tindakannya, menurut jaksa, Anang menerbitkan Peraturan Direktur Utama BAKTI Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Infrastruktur BTS dan Pendukungnya dalam Rangka Transformasi Digital tanggal 28 September 2020. Aturan ini demi melegitimasi persyaratan atau kriteria pemilihan pemenang kegiatan yang dibuat tanpa kajian.
Meskipun peraturan tersebut masih dilakukan penelaahan pada November 2020 oleh Anggie Hutagalung proses prakualifikasi sudah dilangsungkan.
“Padahal proses tahapan prakualifikasi sudah berlangsung pada tanggal 16 Oktober 2020,” kata jaksa.
Anang minta fee kepada para calon pemenang tender
Jaksa juga mendakwa Anang Achmad Latif bersama-sama dengan Galumbang dan Irwan Hermawan meminta perusahaan yang akan menjadi pemenang dalam proyek tersebut untuk memberikan komitmen fee berkisar 8-15 persen.
Hingga akhirnya ditetapkan perusahaan pemenang, antara lain Konsorsium FiberHome, Telkominfra, dan MTD sebagai pemenang Paket 1 dan 2. Kemudian konsorsium Lintasarta, Huawei, SEI sebagai pemenang Paket 3. Dan terakhir konsorsium Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan ZTE Indonesia sebagai pemenang paket 4 dan 5.
Jaksa menilai pemilihan pemenang ini janggal karena Fiberhome, Telkominfra dan MTD, tidak memiliki teknologi BTS 4G-LTE. Selain itu, konsorsium dipersyaratkan untuk memberikan commitment fee sebesar 10 persen. Keanehan lain, pelaksanaan pekerjaan utama justru diserahkan kepada subkontraktor. Adapun pekerjaan yang sebelumnya sudah diserahkan kepada subkontraktor, selanjutnya di subkontrakkan kembali. Selain itu, pembayaran dilakukan 100 persen meskipun pekerjaan tidak selesai.
Jaksa sebut aliran dana ke Anang dan Johnny G.Plate
Dalam korupsi BTS ini, jaksa menuduh Anang mengambil untung sebesar Rp 5 miliar. Uang tersebut, menurut jaksa, diberikan oleh Direktur Utama PT. Sansaine Jemy Sutjiawan sebesar Rp 2 miliar dan Irwan Hermawan sebesar Rp 3 miliar.
Selain itu, Anang juga melaksanakan perintah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate untuk menyiapkan uang sebesar Rp 500 juta per bulan dari Maret 2021-Oktober 2022.
“Padahal, uang yang diserahkan kepada Terdakwa Johnny Gerard Plate tersebut berasal dari perusahaan konsorsium penyedia jasa pekerjaan Penyediaan Infrastruktur BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung Paket 1, 2, 3, 4, dan 5,” kata jaksa.
Jaksa pun merintikan sejumlah uang yang diberikan Anang untuk kepentingan politikus Partai NasDem tersebut. Uang tersebut diberikan dalam bentuk sumbangan, yaitu:
- April 2021 sebesar Rp 200 juta kepada korban bencana banjir di Kabupaten Flores Timur.
- Juni 2021 sebesar Rp250 juta kepada Gereja GMIT di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
- Maret 2022 sebesar Rp 500 juta kepada Yayasan Pendidikan Katholik Arnoldus.
- Maret 2022 sebesar Rp 1 miliar kepada Keuskupan Dioses Kupang.
Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Anang dengan dakwaan primair pertama Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain dakwaan pidana korupsi, jaksa juga mendakwa Anang dengan dakwaan primair pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Anang Achmad Latif didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsidair Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejaksaan Agung menyebut kasus korupsi BTS ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 8 triliun. Hal itu terungkap setelah Kejagung meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit terhadap proyek tesebut.