Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Kerugian Korupsi Timah Rp 271 Triliun. Bagaimana Menghitungnya?

Kejaksaan Agung menghitung kerugian negara korupsi timah Rp 271 triliun. Ada kerugian ekologis, lingkungan, dan biaya pemulihan.

2 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Agung memeriksa Robert Bonosusatya dalam kasus korupsi tata niaga timah.

  • Pemeriksaan Robert dilakukan setelah penyidik menjadikan dua orang dekatnya sebagai tersangka.

  • Kejagung diminta mengusut tuntas kasus dengan kerugian negara terbesar dalam sejarah Indonesia ini.

KEJAKSAAN Agung memeriksa pengusaha Robert Bonosusatya alias RBT alias RBS sebagai saksi dalam dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, 1 April 2024. Jaksa sudah menetapkan dua orang dekatnya, Harvey Moeis dan Helena Lim, tersangka perkara yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi menyatakan pemeriksaan Robert berhubungan dengan keterlibatan PT Refined Bangka Tin. "Yang bersangkutan kami periksa untuk memastikan keterkaitan yang bersangkutan dengan PT RBT. Apakah yang bersangkutan sebagai pengurus, BO (beneficial owner atau penikmat keuntungan), atau tidak ada kaitannya sama sekali," kata Kuntadi dalam konferensi pers seusai pemeriksaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemeriksaan Robert bersamaan dengan penggeledahan di rumah bos PT RBT, Harvey Moeis, di apartemen Pakubuwono, Jakarta Selatan. Harvey menjadi tersangka pada Rabu, 27 Maret lalu. Sehari sebelumnya, penyidik juga menetapkan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim sebagai tersangka.

Kuntadi memastikan jaksa telah membekukan sejumlah rekening milik PT RBT dan Harvey Moeis sejak awal penyidikan. Kejaksaan Agung menyidik kasus dugaan korupsi tata kelola niaga timah ini sejak akhir tahun lalu. Hingga saat ini, penyidik telah menetapkan 16 tersangka. Mereka adalah para petinggi di PT RBT, PT PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Tinindo Inter Nusa, PT Timah Tbk, dan PT QSE.

Kasus ini terkuak setelah 27 pemilik perusahaan peleburan bijih timah mengeluh karena tak mendapat izin beroperasi setelah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menggelar operasi pemberantasan tambang timah ilegal pada 2018. Sementara PT Timah bisa menjalin kerja sama penyewaan alat peleburan bijih timah dengan lima smelter, yang para petinggi perusahaannya kini menjadi tersangka. 

Kerja sama ini yang menjadi objek penyidikan Kejaksaan Agung. Penyidik mensinyalir bijih timah yang dilebur oleh lima perusahaan itu ilegal karena berasal dari wilayah IUP milik PT Timah Tbk. Penambangan dilakukan sejumlah perusahaan cangkang. Biji timah itu mereka setor ke lima smelter. Jaksa menemukan ada upaya rekayasa dokumen surat perintah kerja borongan pengangkutan sisa hasil mineral agar aktivitas penambangan terlihat sah. "Tujuannya adalah melegalkan kegiatan perusahaan boneka tersebut," kata Kuntadi pada awal Maret lalu.

Adapun Helena Lim, menurut Kuntadi, diduga kuat membantu mengelola hasil tindak pidana korupsi dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada para pemilik smelter. Dalih crazy rich Pantai Indah Kapuk itu, kata dia, adalah menerima atau menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) yang menguntungkan para tersangka.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana (kiri) dan Dirdik Jampidsus Kuntadi memberikan keterangan soal korupsi PT Timah di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 1 April 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna

Laporan majalah Tempo edisi 11-17 Maret 2024 menyebutkan Robert berperan penting dalam merealisasi kerja sama itu. Beberapa bulan sebelum penggeledahan tim Markas Besar Polri, seorang pengusaha timah di Bangka Belitung mengikuti konferensi timah yang digelar Bursa Berjangka Komoditi dan Derivatif Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta. Saat itu Robert dan pejabat PT Timah dikabarkan membicarakan rencana kerja sama pengolahan bijih timah beberapa pemain smelter.

Untuk merealisasi kerja sama itu, pertemuan berlanjut di salah satu restoran milik Robert di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan. Harvey Moeis hadir dalam pertemuan itu bersama Direktur Utama PT RBT Suparta dan beberapa pengusaha smelter. Pengacara Robert, PT RBT, dan Suparta, Harris Arthur Hedar, membenarkan adanya pertemuan tersebut. "Itu hanya kumpul biasa. Pak Suparta yang mengundang HM," kata dia saat ditemui di Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Maret lalu.

Harris membantah tudingan bahwa Robert memiliki hubungan dengan PT RBT. Hanya, menurut dia, Robert memang berteman dengan Suparta. "Sama-sama orang tambang," ujarnya. 

Harris tak bisa menjelaskan apa saja yang ditanyakan penyidik Kejaksaan Agung kepada Robert dalam pemeriksaan Senin kemarin karena ia tak mendampingi kliennya. Dia pun kembali menegaskan bahwa Robert tak terlibat dalam PT RBT ataupun kasus ini. Melalui pesan pendek, dia menyatakan Robert hanya berteman dengan Harvey dan Helena. "Jadi mereka satu komunitas saja (pemain tambang)," ujarnya.

Nilai kerugian korupsi timah hingga Rp 271 triliun merupakan perhitungan kerugian ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan kerugian biaya pemulihan lingkungan. Kejaksaan menggandeng guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Bambang Hero Saharjo dan guru besar ekologi hutan IPB Basuki Haris untuk menilai kerugian tersebut.

Melalui pengamatan citra satelit dari 2015 hingga 2022, Bambang dan Basuki memperkirakan terdapat 350 ribu hektare lahan yang tergarap akibat aktivitas tambang ilegal di tujuh kabupaten di Bangka Belitung. Selain mengamati citra satelit, keduanya juga melakukan pemeriksaan langsung di lapangan. "Kami terkejut ada ratusan perusahaan yang beroperasi di balik kasus ini," kata Bambang.

Penghitungan kerugian ekologi didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. Kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan mencapai Rp 223,36 triliun.

Jumlah ini terdiri atas biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun. Sedangkan ihwal kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di area penggunaan lain, biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 triliun, sehingga totalnya Rp 47,70 triliun. "Kalau semua digabung, kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun," kata Bambang.

Sisa pasir timah di lokasi bekas tambang liar di kawasan Hutan Lindung Pantai Penyusuk Belinyu, Bangka Belitung, 2013. Dok. TEMPO/Iqbal Lubis

Peneliti Indonesia Corruption Watch Egi Primayogha mengungkapkan nilai kerugian negara yang terungkap dalam kasus ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Nilai itu melampaui kerugian negara dalam kasus korupsi usaha perkebunan sawit PT Duta Palma Group, yang menjerat konglomerat Surya Darmadi.

Meski Mahkamah Agung hanya meminta Surya membayar kerugian negara senilai Rp 2 triliun, dalam tuntutan jaksa yang dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, kerugian perekonomian negara akibat ulah Surya itu mencapai Rp 73,9 triliun. "Kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif di Indonesia," kata Egi kepada Tempo, kemarin.

Jaksa juga menerapkan kerugian perekonomian negara dalam korupsi minyak goreng yang melibatkan sejumlah pejabat di Kementerian Perdagangan. Kasus ini merugikan negara Rp 18 triliun, yang dihitung berdasarkan kerugian rumah tangga Rp 1,3 triliun, kerugian dunia usaha Rp 10,9 triliun, dan Rp 6 triliun kebijakan para pejabat tersangka korupsi ini yang memperkaya perusahaan-perusahaan minyak goreng.

Egi mengatakan, menurut catatan ICW sepanjang 2004-2015, negara sudah merugi Rp 5.714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak penghasilan perusahaan. Selama 12 tahun tersebut, rata-rata negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32.473 ton per tahun. "ICW berharap, ketika kasus korupsi PT Timah masuk ke proses persidangan, majelis hakim memutus secara progresif sehingga mengakomodasi kalkulasi kerugian lingkungan yang telah dikonstruksikan kejaksaan dengan bantuan ahli," katanya.

Pakar hukum pidana Yenti Garnasih pun berpesan agar Kejaksaan Agung berani menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi timah ini. "Jaksa Agung harus berani menelusuri TPPU-nya, jangan berhenti di tipikor," kata Yenti saat dihubungi secara terpisah.

Yenti mempertanyakan pengawasan negara terhadap praktik-praktik ilegal seperti penambangan liar ini. Apalagi PT Timah merupakan badan usaha milik negara (BUMN). Dia curiga ada kongkalikong antara penambang liar dan pihak yang semestinya bertindak sebagai pengawas. "Apakah memang sistem negara ini sudah tidak ada pengawasannya? Atau pengawas-pengawas itu malah justru kongkalikong supaya orang-orang yang ketahuan curang ini, ketahuan menghabisi harta negara yang seharusnya masuk ke negara ini, malah memang dilindungi?" ujarnya.

Egi pun sependapat dengan Yenti. Menurut dia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lalai melakukan pengawasan. Padahal Kementerian Energi mendapat mandat dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.  

Dalam aturan itu, Menteri Energi dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan; dari pelaksanaan teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP. "Pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang baik. Setidaknya dua kementerian, yaitu Kementerian BUMN serta Kementerian Energi gagal menjalankan tugasnya," katanya. "Sehingga patut diduga bahwa operasi penambangan ilegal tersebut melibatkan aktor lain di luar aktor swasta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Advist Khoirunikmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus