Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 20 Februari 2025. Penahanan ini dilakukan setelah Hasto ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2024 dalam kasus yang melibatkan Harun Masiku. Salah satu tuduhan utama yang diarahkan kepadanya adalah dugaan obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses hukum yang sedang berlangsung.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Merah Putih KPK, menjelaskan bahwa Hasto diduga dengan sengaja menghambat penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penetapan anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024, di mana tersangka utamanya adalah Harun Masiku.
Berdasarkan proses hukum yang berjalan, setelah berstatus sebagai tersangka selama 59 hari sejak 23 Desember 2024, kini Hasto harus menjalani masa penahanan selama 20 hari, dimulai dari 20 Februari hingga 11 Maret 2025. Selama masa penahanan ini, Hasto akan ditempatkan di Cabang Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I Jakarta Timur.
KUHAP mengatur lama waktu penahanan tersangka. Untuk tingkat penyidikan dan penuntutan, ketentuan waktu penahanan tersangka diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25. Pada tingkat penyidikan di kepolisian, lama penahanan tersangka adalah 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari.
Bukan hanya itu, untuk kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka dapat diperpanjang lebih dari masa penahanan yang telah ditentukan oleh Pasal 24 dan 25 KUHAP.
Pada tingkat penyidikan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari.
Penahanan terhadap tersangka pun bisa diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
Dasar Hukum yang Menjerat Hasto Kristiyanto
Dalam perkara ini, Hasto dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini mengatur mengenai hukuman bagi siapa pun yang dengan sengaja melakukan tindakan untuk menghambat atau menggagalkan proses hukum dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain itu, ia juga dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang secara spesifik mengatur tentang perbuatan obstruction of justice.
Menurut ketentuan Pasal 21 UU Tipikor, siapa pun yang secara sengaja menghambat, merintangi, atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, atau persidangan terkait tindak pidana korupsi dapat dikenai hukuman penjara dengan masa hukuman paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun. Selain hukuman penjara, pelanggar juga dapat dikenai denda dengan jumlah minimal Rp150 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 221 KUHP, obstruction of justice juga mencakup tindakan seperti menyembunyikan pelaku kejahatan, membantu tersangka atau terdakwa untuk menghindari proses hukum, serta menghilangkan barang bukti yang berkaitan dengan kasus. Jika terbukti bersalah melanggar pasal ini, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dengan masa maksimal sembilan bulan atau dikenakan denda sebesar Rp 400 ribu.
Dalam ranah hukum, obstruction of justice atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai perintangan proses hukum, merujuk pada setiap tindakan yang dilakukan untuk menghambat, menghalangi, atau merintangi jalannya suatu proses hukum. Tindakan ini dapat berupa intimidasi terhadap saksi, manipulasi barang bukti, hingga memberikan informasi yang menyesatkan kepada aparat penegak hukum.
Secara umum, terdapat tiga unsur utama yang menentukan suatu tindakan dikategorikan sebagai obstruction of justice, yaitu:
1. Menunda proses hukum yang sedang berjalan (pending judicial proceedings), yang berarti bahwa tindakan tersebut mengakibatkan tertundanya proses hukum yang seharusnya berlangsung.
2. Kesadaran pelaku terhadap perbuatannya (knowledge of pending proceedings), yang menunjukkan bahwa individu yang melakukan tindakan tersebut memahami bahwa proses hukum sedang berlangsung dan sengaja melakukan perbuatan yang menghambatnya.
3. Tujuan untuk mengintervensi atau menggagalkan proses hukum (acting corruptly with intent), yang menekankan bahwa pelaku memiliki niat untuk merintangi atau menyabotase proses hukum demi kepentingan tertentu.
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, tindakan obstruction of justice dikategorikan sebagai perbuatan pidana serius, sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 KUHP. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses hukum dapat berjalan dengan lancar tanpa intervensi pihak-pihak tertentu yang berusaha menggagalkan upaya pemberantasan korupsi.
Andi Adam Faturahman dan Hendrik Khoirul Muhid berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Hasto PDIP Dijerat Pasal Obstruction of Justice, Apa Itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini